Ketika musim tanam dan panen, aktivitas menenun biasanya berhenti karena perempuan turun ke sawah. Penghasilan dari bekerja di sawah mencapai Rp25.000 per hari. Bandingkan dengan menenun yang dalam sebulan hanya mendapat Rp200.000 - Rp500.000 karena rata-rata satu orang hanya bisa menyelesaikan satu kain tenun dalam satu bulan.
Tenun ikat dan songket mendominasi wajah kain tenun di Pulau Lombok. Tenun songket dengan ragam hias yang kaya ornamen banyak dijumpai di Lombok Barat dan Tengah yang tersebar di Desa Getap, Kecamatan Cakranegara dan Desa Sukadana, Kecamatan Bayan di Lombok Barat serta Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya dan Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat di Lombok Tengah.
Berbeda dengan tenun songket dari daerah lain yang banyak dihiasi benang perak dan emas, tenun songket di Lombok lebih banyak menggunakan benang katun berwarna-warni. Tenun ikat lebih banyak ditemui di Lombok Timur, seperti di Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel, dan Desa Pringgasela, Kecamatan Pringgasela.
Para petenun juga sudah tidak lagi memahami arti dan makna motif kain tenun. Ani (34), petenun dari Desa Ungga, menyebutkan beberapa motif kuno yang diketahuinya, seperti subahnale, keker (ayam), bulan merindu, dan bunga kabut.
Namun, ia mengaku tidak mengerti makna setiap motif. Petenun lebih tua seperti Lale Mainah (67) dan Lale Sarinah (57) pun kesulitan menyebutkan nama-nama motif dan maknanya meski sesungguhnya motif kuno tenun Lombok berjumlah cukup banyak.
Dosen Program Studi Kriya, Jurusan Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Ratna Panggabean yang mendalami tenun Lombok mengatakan, sebagaimana di daerah lain, ragam hias tenun di Lombok banyak dipengaruhi unsur kepercayaan dan lingkungan sekitar. Jadi, pada masa awal, muncul bentuk-bentuk ragam hias manusia, fauna, dan flora sebagai hasil pengaruh animisme dan dinamisme serta agama Hindu.
Setelah Islam masuk, ragam hias menghindari bentuk makhluk hidup. Namun, beberapa ragam hias menunjukkan terjadinya akulturasi seperti motif bunga lotus pada bagian dalam segi enam subahnale.
Dalam buku Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara karya Suwati Kartiwa disebutkan, kain tenun Lombok mewarisi beberapa ciri yang sama dalam hal corak dan warna dengan tenun Bali, terutama yang berkembang di bagian barat Lombok. Namun, corak hias Lombok tidak sebesar Bali dan tidak pernah pula memakai benang emas.
”Jangan pernah Lombok membuat kain seperti corak Bali. Tetaplah dengan ciri khas Lombok yang memiliki karakter lebih geometris meski pasar Bali memang lebih besar. Dengan begitu, tenun Lombok akan bertahan,” kata Ratna.