Mereka Tetap Ingin Menyalakan Pelita Ilmu Itu...

By , Senin, 17 November 2014 | 07:00 WIB

Gubuk reyot yang dijadikan ruang kelas sekolah dasar di pelosok-pelosok Banten tak lantas membuat pelajarnya patah arang. Tempias hujan terciprat di muka, kelabang yang jatuh dari atap, dan perihnya mata karena embusan debu bukan aral melintang untuk berprestasi.

Dinding kelas Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukatani 1 Filial dari anyaman bambu sudah bolong-bolong. Sekolah di Kampung Caringin, Desa Sukatani, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, itu beratapkan daun kirai. Sementara, lantai kelas beralaskan pasir.

"Hewan-hewan seperti ayam, kucing, dan bebek kerap masuk ke dalam kelas, bahkan buang kotoran," ujar Guru SDN Sukatani 1 Filial, Unesih (49), pertengahan Oktober 2014. Jika hujan deras, kelas bocor dan sebagian murid terkena cipratan air. Pasir yang beterbangan ketika angin bertiup, memedihkan mata.

Di dekat jendela, tulisan pada secarik kertas pengumuman terlihat luntur. Sekolah itu didirikan pada 2013 sehingga baru ada murid kelas satu dan dua. Namun, pagi itu, tak ada bangku kosong. Semua murid di SDN Sukatani 1 Filial masuk dan belajar dengan tertib. Setiap kelas ditempati 35 murid. (Baca juga Indonesia Butuh Terobosan ke Akses Pengetahuan)

Kevin Taufiqullah (7), siswa kelas dua SDN Sukatani 1 Filial, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tangkas.

Murid yang selalu meraih peringkat pertama itu bersama kawan-kawannya terlihat semangat mengikuti pelajaran. Kalaupun terdengar keriuhan, itu karena mereka antusias mencatat di buku tulis.

Saat ditanya, apakah Kevin malu bersekolah di gubuk usang, dia dengan tegas menjawab, "Tidak. Saya masih mau sekolah karena ingin pintar," ujarnya. Tak pernah tebersit dalam benak Kevin untuk menjadikan gubuk usang sebagai alasan untuk tidak bersekolah.

Kevin termasuk anak paling cerdas di SDN Sukatani 1 Filial dengan prestasi segudang. Dia kerap menyabet juara pertama berbagai lomba, seperti mewarnai, mengaji, dan azan. "Cita-citaku jadi kiai," tutur Kevin yang kerap menyaksikan para pemuka agama di layar kaca sambil tersenyum.

Kondisi lebih mengenaskan tampak di SDN Cijaralang 2, Desa Cijaralang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang. Sejak 2009, pelajar kelas satu, tiga, lima, dan enam belajar di gubuk. Pelajar kelas dua dan empat malah belajar dengan menumpang di rumah warga.

Kelas hanya berlantaikan tanah yang tak rata dan beratap daun kirai. Hanya satu dari empat gubuk yang memiliki pintu. Guru SDN Cijaralang 2, Haitami (43), menuturkan, sudah dua kali gubuk-gubuk itu roboh karena diempas angin kencang pada 2012 dan 2011.

Murid-murid sering takut sekolah akan roboh. Banyak warga setempat enggan menyekolahkan anaknya di SDN Cijaralang 2. Bahkan, guru-guru harus selalu berdiri.

"Kami tak punya kursi dan meja. Kalau para guru bertemu, kami kumpul di rumah seorang warga. Kami bekerja dengan bersila," kata Haitami.

!break!

Tetap bersemangat