Pendidikan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu di sebagian masyarakat. Konsekuensinya, remaja justru tidak memahami tubuhnya dan tak memiliki pengetahuan dasar yang cukup tentang kesehatan reproduksi.
(Meningkatkan penyakit organ reproduksi pada remaja disebabkan pola pergaulan dan kesehatan yang tidak baik, lihat di sini)
Akibatnya, banyak remaja terjebak dalam perilaku seksual tidak sehat dan menjadi korban kekerasan.
”Para ahli sepakat bahwa pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja tidak mendorong mereka melakukan seks sebelum menikah atau seks tidak sehat,” kata Penasihat Program Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana Badan Pendanaan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa Regional Asia Pasifik Josephine Sauvarin, di Bangkok, Thailand, Minggu (16/11).
Pandangan tentang pendidikan kesehatan reproduksi yang keliru seolah menafikan kenyataan bahwa remaja dengan tubuh kecil sebenarnya sudah aktif secara seksual. Mengharapkan pendidikan itu dilakukan orangtua, guru, ataupun masyarakat juga belum memungkinkan.
Selain persoalan seksualitas masih dianggap tabu, tidak banyak orang memiliki pemahaman memadai tentang kesehatan reproduksi. Maka upaya memberikan pemahaman malah bisa keliru.
Menurut Josephine, mengutip data penelitian, pendidikan kesehatan reproduksi bermutu justru menunda hubungan seksual remaja untuk pertama kali hingga 37 persen, menurunkan frekuensi hubungan seksual remaja sebanyak 31 persen, dan mengurangi hingga 44 persen kebiasaan remaja berganti-ganti pasangan seks.
Pemahaman kesehatan reproduksi yang baik juga mampu meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi lebih dari sepertiga responden remaja serta mengurangi lebih dari separuh perilaku seks berisiko remaja.
Namun, akibat masih ditolaknya pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi—karena dianggap mendorong remaja berhubungan seks sebelum menikah ataupun seks bebas—banyak remaja putri mengalami kehamilan tidak diinginkan, mendorong mereka melakukan aborsi tidak aman, serta muncul berbagai stigmatisasi terhadap remaja dengan orientasi seksual berbeda.
Program pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja putri pun banyak yang menjadi tidak tepat sasaran. ”Jika tidak bisa bicara tentang seksualitas dengan remaja, maka siapa pun tidak dapat mengarahkan kebutuhan mereka,” tuturnya.
Terjebaknya remaja dalam perilaku seksual tidak aman di antaranya terlihat dari rendahnya pemahaman remaja tentang penyakit seksual menular, khususnya HIV/AIDS. Ini mengakibatkan risiko mereka tertular dan menularkan HIV sangat besar.
Saat ini, ada 1,8 miliar remaja dan pemuda berumur 10-24 tahun di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 1,1 miliar di antaranya berada di Asia Pasifik. Indonesia memiliki 63,44 juta remaja pada 2010. Itu berarti lebih dari seperempat penduduk Indonesia adalah remaja.
Setiap tahun ada 5,4 juta remaja putri berumur 15-19 tahun di seluruh Asia Pasifik yang melahirkan.
Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan, dari 1.000 remaja putri kelompok usia yang sama, sebanyak 6,9 orang di antaranya sudah hamil dan melahirkan.
Korban kekerasanSelain mengalami kehamilan tidak diinginkan karena pemahaman minim soal kesehatan reproduksi, saat ini banyak remaja akhirnya justru menjadi korban kekerasan. (Lihat di: Memahami Anak Korban Kekerasan Seksual)
Mereka sering kali dipaksa pasangannya untuk menggugurkan kandungan, dipaksa orangtuanya untuk menikah meskipun belum menginginkannya atau diusir dari rumah, dan dikeluarkan dari sekolah ataupun jadi pergunjingan masyarakat sekitarnya.
Peneliti independen tentang kekerasan terhadap perempuan, Henrica AFM Jansen, mengatakan, kekerasan umumnya membuat perempuan rentan memiliki kesehatan fisik yang buruk, mudah muncul berbagai gejala penyakit fisik ataupun mental, dan mendorong mereka pada tindakan aborsi tidak aman yang bisa mengancam jiwa. Lebih lanjut, mereka bisa terjebak pada kekeliruan mengasuh anak. Kondisi itu sering kali juga memicu bunuh diri.
Buruknya pengasuhan anak yang dilakukan orangtua yang masih remaja juga bisa melanggengkan kekerasan. ”Anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan ayahnya memiliki potensi tiga kali lebih besar untuk melakukan hal yang sama,” kata Jansen.