Pemerintah didesak untuk segera memperbaiki peraturan dan pelaksanaan dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
SVLK merupakan sistem yang dibangun untuk memastikan legalitas kayu dan produk kayu yang dihasilkan di Indonesia. SVLK ditetapkan pertama kali melalui Permenhut No. 38/2009 dan mulai dilaksanakan pada September 2009.
Sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang sehat dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas SVLK—dibentuklah Jaringan Pemantau Indepeden Kehutanan (JPIK), jaringan kerja yang beranggotakan organisasi masyarakat sipil, individu maupun kelompok-kelompok masyarakat yang fokus dalam pemantauan SVLK di Tanah Air. Pemantauan independen masyarakat sipil atas SVLK ini merupakan bagian dari perjanjian antarpemerintah Indonesia – Uni Eropa melalui Kesepakatan Kemitraan Sukarela dalam Penegakan Hukum, Perdagangan dan Tata Kelola Kehutanan (FLEGT-VPA).
Sebuah laporan berjudul “SVLK Di Mata Pemantau” yang diluncurkan hari ini (24/11) di Jakarta, memaparkan hasil kajian independen yang telah dilakukan oleh JPIK pada 2011-2013.
“Kami sangat mendukung rencana pemerintah untuk pelaksanaan penuh SVLK pada 1 Januari 2015. Namun demikian, perbaikan terhadap aturan dan pelaksanaan SVLK sangat diperlukan untuk memastikan kredibilitas sistem ini,” ujar Zainuri Hasyim, koordinator nasional untuk JPIK.
Hasil pemantauan JPIK terhadap 34 pemegang izin menunjukkan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan SVLK. Beberapa permasalahan yang mencuat, meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, proses perizinan yang bermasalah, pelanggaran terhadap fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, kewajiban lingkungan, persoalan konflik (terutama terkait dengan tata batas dan tenurial), dan beberapa kelemahan yang terkait dengan verifikasi legalitas kayu yang berasal dari konversi hutan alam.
Berikut di antara temuan mereka mengenai masalah SVLK—baik dalam aturan maupun implementasinya—di Indonesia:
Bagaimana izin bisa ada?
“Kami menemukan bahwa lembaga penilai dan verifikasi dalam SVLK cuma melihat keberadaan dokumen izin tanpa menelusuri proses keluarnya izin,” sebut Zainuri seraya memaparkan bahwa kasus korupsi perizinan kehutanan yang terjadi di Provinsi Riau yang melibatkan pemerintah setempat yang telah dijatuhi hukuman. Namun SVLK terkesan tidak terkait dengan kasus ini, dan tidak ada upaya menyelidiki beberapa perusahaan yang bersertifikat SVLK yang terlibat kasus korupsi perizinan tersebut.
“SVLK seharusnya dapat mencegah keluarnya sertifikat bagi pemegang izin bermasalah dengan cara memasukkan prosedur keluarnya izin sebagai bagian dari standar legalitas,” ujarnya.
Mengapa informasi tidak dibuka?
JPIK juga meminta perbaikan terhadap aspek transparansi data dan informasi kehutanan dalam pelaksanaan SVLK.
Hingga saat ini kelompok masyarakat sipil masih sulit mengakses informasi publik yang dibutuhkan. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa itikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan tidak hanya berlaku di atas kertas.