Pecinta Alam, Pendidikan Karakter Sebenarnya...

By , Minggu, 30 November 2014 | 20:15 WIB

Tewasnya dua siswa SMA Negeri 3 Setiabudi DKI saat pelatihan untuk anggota baru klub pencinta alam sekolah tersebut memicu kemarahan Gubernur DKI Jakarta dan Kadisdikbud DKI Jakarta hingga mengancam akan membekukan semua kegiatan pencinta alam di DKI yang kadung tumbuh subur bukan saja di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia. Kematian tersebut disebabkan kekerasan yang dilakukan oleh senior pelatih, meskipun dalam pengawasan guru pembina.

Tentu saja, jika pemerintah DKI Jakarta melarang permanen kegiatan yang sangat baik itu, dapat menjadi rujukan daerah lain ketika terjadi kecelakaan serupa saat berkegiatan di alam bebas. Yang terjadi, kegiatan pencinta alam bakal mati suri. (Baca juga Siswa Pecinta Alam Ini Tewas Di Gunung Kantisang)

Tumbuhnya kegiatan alam bebas dalam bentuk petualangan tersebut sangat baik, karena sebagai kegiatan ekstra kurikuler (ekskul), pencinta alam menjadi praktik pendidikan karakter yang paling bernas dan berkelanjutan. Jika pada era 1970-an kegiatan ini masih dianggap elitis dan perbuatan nekat, saat ini sudah menjadi tren. Tren mendaki gunung, misalnya.

Di era tersebut kelompok yang bergaung di tingkat nasional hanya sedikit, sebutlah misalnya Mapala UI, Wanadri, atau Aranyacala Trisakti. Saat ini, hampir tak ada perguruan tinggi di Indonesia yang tak punya klub pencinta alam. Pun, demikian dengan SMA/SMK yang umumnya punya ekskul pencinta alam. Ekskul ini dibanjiri murid yang ingin berekspresi dan terlihat keren. (Baca juga Bagaimana Seharusnya Latihan Fisik dalam Kelompok Pecinta Alam?)

Namun, beberapa SMA/SMK masih menunda merestui kegiatan pencinta alam menjadi ekskul resmi. Alasannya adalah ketiadaan guru pembimbing, mengingat risiko kegiatan di alam bebas cukup tinggi. Maklum, beberapa sub-kegiatan pencinta alam memang tergolong olahraga atau hobi ekstrim, yaitu arung jeram, memanjat tebing, menelusuri goa, serta mendaki gunung salju.

Dinding selatan Chulu terlihat saat pendakian menjelang Ledar (4.200 mdpl). Puncak Chulu West (6.419 mdpl) yang terletak di Nepal ini menjadi salah satu tujuan pendakian popular di jajaran pegunungan Himalaya. (Agung Sutiastoro)
!break!

Pendidikan Karakter

Sebelum hiruk pikuk kurikulum baru, Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah heboh mengenai pendidikan karakter dengan maksud menyikapi kelesuan sikap dan moral bangsa lewat kampanye 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter. Tetapi, 18 butir karakter baik yang wajib itu sangat sulit diajarkan, karena karakter yang membekas bermula dari kebiasaan yang terukir dan menjadi sikap keseharian. (Baca juga Mapala UI Tidak Setuju Atas Pembubaran Pecinta Alam SMA)

Menjadi pegiat ekskul pencinta alam mendidik karakter murid menjadi disiplin. Kecerobohan akan memunculkan risiko celaka hingga kematian yang semestinya bisa diperhitungkan (predicted risks), kecuali resiko alam yang tak bisa diperhitungkan, semisal gempa bumi atau gunung meletus.

Sinar mentari menghunjam ke dalam Luweng Grubug, Gunungkidul, saat jarum jam menunjuk angka 12. Tidak semua gua memiliki karakteristik seperti ini. Sungai bawah tanah sepanjang 100 meter di dasar gua menebarkan partikel air ke penjuru ruang, membuat berkas sinar menjadi gamblang. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Pencinta alam juga dilatih tangguh fisik dan psikis menghadapi dinginnya puncak gunung, ganasnya arus liar dan gulungan ombak di laut. Kegiatan ini juga melatih keuletan melewati hambatan alam yang sangat diperlukan saat bekerja.

Alam mengajarkan kebersahajaan, batas kekuatan dan kelemahan diri yang berujung pada kerendahan hati dan penghargaan kepada orang lain. Alam juga mengajarkan rasionalitas dan kejujuran bersikap, disinilah integritas pribadi tumbuh dan matang.

Masih banyak sikap dan karakter handal yang bisa ditumbuhkan dengan menjadi pencinta alam seperti kerjasama, faham tentang keberagaman, kesetaraan manusia dan tentu kreatifitas dalam mencipta.

!break!

Mendidik pencinta alam

Mapala UI dan Wanadri sebagai klub kegiatan alam bebas tertua di Indonesia, memiliki tradisi mendidik dalam bentuk pelatihan calon anggota baru. Di Mapala UI diperlukan sedikitnya 6 (enam) bulan teori dan praktek beragam jenis kegiatan alam bebas dan ditutup dengan masa pengembaraan dalam "perjalanan panjang" selama lebih dari sepekan dan berujung dengan perjalanan menuju lokasi tertentu untuk dilantik menjadi anggota baru dengan nomer anggota.