Mereka Tidak Tersentuh Layanan Kesehatan...

By , Selasa, 2 Desember 2014 | 15:13 WIB

Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam melimpah. Namun berkah sumber daya alam itu belum berimbas positif terhadap peningkatan akses layanan kesehatan bagi sebagian masyarakat di daerah pedalaman.

Di Kabupaten Mimika, belum ada sarana puskesmas dan tenaga medis bagi belasan ribu warga.

Sebenarnya, di Distrik Tembagapura, Mimika, lokasi beroperasinya PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang multinasional, terdapat dua fasilitas kesehatan.

Salah satunya adalah Rumah Sakit Tembagapura, yang memiliki fasilitas lengkap misalnya alat pemindaian tomografi terkomputasi (computerized tomography scan/CT scan).

Pihak RS itu memberi layanan gratis bagi karyawan Freeport Indonesia dan warga sekitar yang merupakan tujuh suku asli di wilayah itu, yakni Damal, Ekari, Amungme, Kamoro, Moni, Dani, dan Mee. Total kunjungan per hari 200 orang. Selain itu, terdapat RS Waa Banti, yang terletak di luar area operasi PT Freeport Indonesia.

Namun, untuk menjangkau fasilitas kesehatan itu, warga harus menempuh perjalanan beberapa jam. Kondina Kogoya (26), pasien yang ditemui Kompas, Sabtu (22/11), di ruang persalinan RS Tembagapura, mengaku harus berjalan dua jam ke daerah Waa Banti, baru diantar petugas dengan mobil ke RS.

”Di kampung saya, di Utikini, tak ada fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Karena itu, saya harus pergi ke Waa Banti, lokasi terdekat yang memiliki rumah sakit,” tuturnya. Sementara, saudaranya yang ada di daerah Puncak dan Sugapa harus naik pesawat agar bisa mendapat perawatan di RS itu.

Sementara itu, Okto Beanal (35), warga Kampung Tsinga, menuturkan, untuk mendapat layanan persalinan di RS Waa Banti, istrinya, Damor Jawame, harus dibawa dengan helikopter. ”Untung helikopter bisa cepat sampai di kampung saya. Jika terlambat, nyawa istri dan anak saya tak tertolong,” kata pria yang juga Kepala Kampung Tsinga, Distrik Tembagapura.

Menurut Okto, kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan di wilayahnya amat minim. Hanya ada satu puskesmas di Tsinga untuk melayani warga yang tersebar di enam kampung. Jarak antarkampung ke Tsinga jika ditempuh dengan berjalan kaki memakan waktu berjam-jam.

”Para petugas mantri atau bidan jarang ada di kampung. Mereka hanya bertugas di kampung hingga masa kontrak berakhir,” tuturnya. Kondisi itu membuat banyak warga kehilangan nyawa karena sakit.!break!

Yustinus Wamang (36), warga di Kampung Noya yang dekat dengan Tsinga, mengungkapkan, istri dan anaknya meninggal dunia karena terlambat mendapat perawatan medis beberapa tahun lalu. Di kampungnya, banyak warga menderita tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, dan diare. Hal itu karena perilaku hidup masyarakat kurang sehat misalnya tak ada ada jamban untuk buang air besar.

Istri dan anaknya meninggal dunia karena terlambat mendapat perawatan medis.

Kepala RS Tembagapura Darma Irawan menyatakan, pihaknya menyediakan layanan kesehatan bagi karyawan Freeport Indonesia dan warga di tiga desa, yaitu Waa Banti, Arwanop, dan Tsinga.

”Tiga desa itu adalah binaan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro. Mereka menyediakan fasilitas seperti helikopter, tim kami terjun ke lokasi,” katanya.