Malam itu kami menjalani upacara makan sirih, untuk mendoakan keselamatan kami. Dikisahkan oleh tetua desa, bahwa pada awalnya adalah Alifuru, semua berasal dari satu ibu, Nusa Ina.
"Kemudian datang agama hingga kita jadi berbeda, tetapi kita semua berasal dari satu ibu," jelas mereka. Perbedaan ini sangat terasa ketika kami menyeberangi ke Yaputi.
Di sisi timur terlihat gereja dan di baratnya masjid. Warga saling menyapa ketika lewat, namun saat menyusuri jalan desa ada terasa perbedaan di satu garis, bahwa kami telah meninggalkan satu sisi dan masuk ke sisi lainnya.
Rute kami hanya sehari saja melewati kampung, selanjutnya kami menembus kebun kopi dan sayur untuk masuk hutan, menyusur sungai. Kemah pertama kami di Aimato, yang memiliki aliran sungai kecil untuk minum.
Hanya setengah hari jalan dari desa, sekitar enam jam, dengan dua kali menyeberangi anak sungai Yaputi. Saat menyeberang terlihat batang melintang diatas bongkah batu yang tinggi. Itu jalan menyeberang ketika sungai banjir, begitu kami saling bertutur. Hari pendakian ketiga kami mendaki sampai 1000 meter lebih.
Sasarannya lembah kecil di kaki sadel antara Manukupa dan Wayputih. Dataran ini memiliki genangan air saat musim hujan mengguyur. Namun dari catatan Hendri kami dianjurkan berbekal air dari Aimoto. Ternyata air masih ada, dan beban air yang berat itu jadi penyelesalan.
Paling tidak meninggalkan perkemahan Isilali ini menuju perkemahan Nusapeha kami tidak perlu menggotong air terlalu berat karena di Nusapeha terdapat genangan air. Isilali adalah kemah yang digunakan penduduk sekitar Binaiya, untuk berburu kijang. Kotoran kijang memang banyak tersebar di setapak yang kami lalui. Kijang sendiri baru kami saksikan di kejauhan ketika mendakilereng Wayputih. Bergerak santai di antara bebatuan di lereng lembah jauh di bawah kami.
Hari keempat ini tidak banyak ketinggian bertambah, tetapi kami harus melewati satu gunung untuk bisa tiba di sadel antara Wayputih dan Binaiya Besar. Saya dan Fahmi sampai terakhir. Bagi Fahmi, ia berada di urutan belakang lantaran dengan telaten ia menunggui saya.
Kami sudah mendirikan kemah ketika hari masih siang, tetapi pendakian tidak dilanjutkan karena masih cukup waktu. Besoknya kami berangkat menuju puncak.
Saat sampai di atas puncak Binaiya Besar, kami melihat puncak lainnya di seberang lembah. Ige menjelaskan, puncak Binaiya yang tertinggi adalah yang di depan kami.
Dan, hari masih panjang. Kami pun terus menyeberangi sadel kedua puncak dan di kolam kecil meninggalkan bekal kami. Belum lagi tengah hari kami sudah menjejaki puncak Binaiya. Dari puncak ini pelabuhan Taheru jelas terlihat. Yang lebih penting lagi BTS di Taheru satu garis pandang ke puncak Binaiya, artinya telepon genggam bisa berfungsi. Mukjizat masa kini.
Baca: Peneliti Senior LIPI Tewas Saat Mendaki Gunung di Maluku