"Mengindikasikan paling tidak sejak kurang lebih 400 tahun lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini," tulis situs itu. Kelanjutan keterangannya, "Peninggalan arkeologi yang paling padat ini diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting untuk pulau Borneo."
!break!Cerita yang tersisaSedikit mengurangi penasaran kami, Lawai bercerita tentang hikayat dari mulut ke mulut di masyarakat desanya soal makam ini. Dari cerita itu, konon masyarakat Dayak kuno memang punya tradisi pemakaman unik.
Jenazah warga yang meninggal, lanjut Lawai, ditaruh di dalam wadah, bisa berupa guci, tempayan, atau tempat-tempat serupa. Wadah itu lalu diletakkan di tempat yang agak jauh dari desa.
"Tradisi itu kabarnya mulai sejak empat abad lalu. Saya kurang mengerti apa maksud dari tradisi itu," ujar Lawai. Menurut dia, tradisi itu mulai pudar seiring masuknya agama Kristen di wilayah pedalaman Malinau dan Islam di kawasan pesisir.
Hanya 10 menit kami berada di areal kuburan kuno. Selain penuturan Lawai, tak banyak percakapan terjadi selama kami di sana. Usai berfoto secukupnya, kami bergegas meninggalkan lokasi senyap itu.
Sepanjang perjalanan ini, cuaca yang melingkupi kami memang kerap berubah, pun pada siang itu. Ketika ketinting kembali melaju menjauh dari tepian di dekat makam, kabut muncul menghalangi pandangan ke kuburan yang belum lama kami tinggalkan dalam cuaca cerah dan benderang. Bahkan cuaca pun seolah sepakat menegaskan kemisteriusan sang kuburan batu.