Longsor besar di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, sekali lagi menunjukkan ketidakhadiran negara dalam melindungi rakyatnya. Jutaan penduduk hidup di kaki-kaki tebing rapuh, sebagian besar di antaranya warga miskin tanpa pilihan lain. Dengan curah hujan tropis yang dikenal tinggi, longsor adalah bom waktu.
"Saya gemetar mendengar korban longsor yang sedemikian banyak di Karangkobar, tanpa bisa memberi peringatan langsung kepada masyarakat," kata Edi Prasetyo Utomo (58), peneliti longsor senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Minggu (14/12).
Sudah 33 tahun Edi menjadi peneliti geologi lingkungan dengan fokus pergerakan tanah atau longsor. Tahun 2006, Edi meneliti kerentanan longsor di kawasan itu, tak lama setelah longsor di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara—sekitar 6-7 kilometer dari Karangkobar—yang menewaskan 90 orang. Laporan penelitiannya ditulis dalam Journal Landslide Society Volume 43 Nomor 1.
Namun, menjelang akhir karier sebagai peneliti, ia belum melihat perubahan signifikan sikap pemerintah melindungi warganya dari bencana, khususnya longsor. "Longsor akan berulang. Ciri-cirinya bisa dikenali," katanya. Beberapa di antaranya tanah dan dinding rumah retak, pohon-pohon tampak miring, dan riwayat longsor.
Di Dusun Jemblung, seperti dikatakan salah satu warganya, Taroni (65), sebelum longsor besar, salah satu sisi Bukit Telagalele terjadi longsor kecil. Di sana ada bangunan dam kecil. "Bukit itu sebenarnya jalur air mengalir. Di puncak bukit ada danau mengering," tuturnya.
Minim respons
Tanda-tanda potensi longsor jelas di Karangkobar. Bahkan, pada 5 Desember 2014, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)—Badan Geologi mengirim surat peringatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bahwa Karangkobar masuk dalam 20 kecamatan rentan longsor menengah-tinggi di Banjarnegara. "Surat kami kirim via pos ke Kantor Gubernur Jawa Tengah," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah PVMBG Gede Suantika.
Namun, seperti sebelumnya, pemberitahuan gamblang itu tak direspons dengan baik. Informasi potensi bencana tidak ditindaklanjuti di lapangan dengan pemetaan partisipatif warga.
"Sosialisasi jarang, apalagi anjuran bagaimana hidup aman di wilayah seperti ini," kata Tomo (60), petani penggarap kebun singkong dan kopi di Dusun Jemblung. Anak-istrinya tewas.
Menurut Kepala Desa Sampang Partono, warga belum pernah mendapat pelatihan evakuasi menghadapi longsor. Karena minim informasi, banyak warga membangun rumah berdinding tembok yang lebih rawan dibandingkan rumah kayu.
Di Yogyakarta, Teuku Faisal Fathani (39), peneliti longsor pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM), menyesali longsor dengan banyak korban jiwa itu. Tahun 2007, ia dan tim UGM bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal meneliti kerentanan longsor di Banjarnegara. Kecamatan Karangkobar masuk peringkat pertama daerah berisiko tinggi.
"Waktu itu kami siap pasang alat deteksi dini longsor di sana, tetapi ada persoalan sosial sehingga gagal terwujud. Andai saja alat itu jadi dipasang di sana, mungkin lain cerita," katanya.
Tahun 2007, tim UGM atas bantuan UNESCO memasang alat deteksi dini longsor di Kecamatan Pagentan, kecamatan tetangga Karangkobar. Akhir tahun itu longsor besar di Pagentan, tetapi tak ada korban. Warga menyelamatkan diri empat jam sebelumnya karena alarm bahaya berbunyi. "Longsor bisa dimitigasi dan seharusnya itulah fokus pemerintah, bukan pada tanggap darurat," kata Faisal.