Berlimpah "Ladang", Minim Penelitian

By , Jumat, 19 Desember 2014 | 11:40 WIB

”Saya sering diprotes teman-teman peneliti kenapa dana penelitian sangat kecil. Mereka butuh dana cukup, tetapi saya tidak bisa memberi karena kucuran dana dari pemerintah memang sangat sedikit,” ujarnya.

Bambang berharap ke depan pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk penelitian arkeologi. Melihat luas wilayah Indonesia beserta keberadaan cagar budaya dan situs yang sangat banyak, idealnya tersedia dana penelitian Rp 25 miliar setahun yang dialokasikan khusus untuk kebutuhan penelitian.

Selama ini, dalam setiap penelitian besar, rata-rata hanya tersedia dana sekitar Rp 250 juta. Karena terbatasnya anggaran, para peneliti menggandeng peneliti dari luar negeri dengan konsekuensi penemuan-penemuan besar akhirnya harus muncul dalam kerja sama internasional, bukan hasil penelitian murni peneliti dalam negeri.

Oktober lalu, Adam Brumm, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Universitas Wollongong, Australia, bersama Maxime Aubert, peneliti dari Unit Evolusi Peradaban dan Seni Cadas Universitas Griffith, menyampaikan hasil penelitian usia lukisan gua di Maros, Sulawesi Selatan, yang menguak misteri kehidupan manusia prasejarah di Indonesia periode 40.000-an tahun lalu. Penelitian ini memang melibatkan banyak pihak, mulai dari Pusat Arkeologi Nasional, Universitas Wollongong, Australia, Universitas Griffith, Australia, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, dan Balai Arkeologi Makassar, tetapi seluruh dana pembiayaan penelitian ini berasal dari Australia.!break!

Meski terkadang harus melibatkan pihak luar dalam penelitian, Truman yakin, persoalan penelitian sebenarnya bukan pada kemampuan, melainkan semata-mata masalah kesempatan saja. Karena dana dan fasilitas minim, dinamika penelitian dalam negeri kurang maksimal.

Dengan kondisi seperti ini, langkah kerja sama dengan peneliti luar negeri terpaksa harus diambil. Dengan catatan, para peneliti harus tegas menghadapi mitra asing.

Jangan sampai peneliti dari luar negeri mencari peluang untuk kepentingan sendiri tanpa berlandaskan etika, seperti yang pernah terjadi pada kasus Liang Bua, Flores, ketika hasil penelitian justru diumumkan peneliti asing secara sepihak di Sydney, Australia.

Selain menggandeng peneliti luar negeri, untuk menyiasati minimnya pendanaan, para peneliti kadang menerapkan strategi penghematan dari 2 x 15 hari penelitian selama dua tahun menjadi 1 x 21 hari penelitian setahun. Berdasarkan evaluasi, hasil penelitian 2 x 15 hari selama dua tahun jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 1 x 21 hari setahun. Dari sisi biaya, penelitian selama 2 x 15 hari selama dua tahun juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan penelitian satu kali setahun selama 21 hari.

”Dengan waktu penelitian yang lebih lama meski hanya setahun sekali, biayanya jauh lebih murah, hanya kurang dari setengah biaya penelitian dua kali selama dua tahun. Biaya transportasi, misalnya, jauh banyak terpotong. Strategi seperti ini sudah kami perjuangkan, tetapi memang tidak mudah,” kata Truman.

Bambang menambahkan, dalam waktu dekat, apabila anggaran penelitian tidak digenjot banyak situs dan cagar budaya di Indonesia yang semakin telantar. Ia juga mengungkapkan, sekarang banyak peneliti Indonesia yang lari ke luar negeri karena kesempatan dan fasilitas penelitian di sana jauh lebih menjanjikan.