Di sana pertama kali dibangun rumah, satu dari 140.000 unit yang dibangun dengan bantuan dana internasional sebanyak US$7trilliun untuk Aceh.
Rumah Marwadah dibangun dengan cepat dan atapnya tampak bocor, tembok tipis, dan saya ingat sejumlah pertengkaran yang tidak pantas di awal masa pembangunan mengenai kerabat mana yang akan memiliki hak atas rumah.
Tetapi, bangunan itu akhirnya sesuai dengan peruntukannya, dan keluarga kemudian mengakui bahwa rumah mereka lebih baik dibandingkan yang mereka miliki sebelum 2004.
Di tempat lain, banyak rumah tidak ditempati. Bangunan itu dibangun di tengah kebingungan karena koordinasi yang buruk, dan seringkali bersaing antar lembaga bantuan, memiliki banyak uang dan terkadang lebih memikirkan menghabiskannya dengan cepat dibandingkan mengetahui keinginan komunitas lokal.
"Saya memberikan skor untuk upaya bantuan 65 (dari 100)," kata Muslahuddin Daud, seorang pejabat Bank Dunia yang hampir terkena tsunami.
"Banyak yang tidak sempurna. Untuk US$7 trilliun kami dapat melakukannya lebih baik dengan banyak cara. Banyak rumah-rumah kosong... berlebihan. Kami memiliki lebih dari 500 organisasi bantuan, dan banyak yang tumpang tindih.
"Dan banyak uang bantuan asing dalam jangka panjang membuat orang jadi bergantung - dan mereka jadi malas. Pertumbuhan di Aceh masih mandek; kemampuan untuk mengelola sumber daya tidak ada," kata Daud.!break!
Perempuan yang kuat
Dan kemudian terjadi perdamaian.
Sebelum tsunami, Aceh bergulat dengan kekerasan akibat pemberontakan. Meski masih berusia 11 tahun, Mawardah ingat kondisi tersebut berdampak pada semua orang ketakutan, jalanan ditutup, serta bentrokan di desa-desa.
Tetapi bencana kemudian membawa pembicaraan damai, dan saat ini provinsi ini terus mendapatkan manfaat dari kesepakatan otonomi yang mengakhiri konflik.
Pemerintahan baru telah menerapkan elemen hukum Syariah yang didukung banyak warga termasuk Marwadah.