Kenapa Saya Berjalan Kaki?

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:04 WIB

 11 Agustus 2013

Dekat Thuwal, Arab Saudi, 22°7'33" N, 39°4'23" E

“Dengan memahami bahwa mobil telah menjadi prostetik, dan meski prostetik biasanya digunakan untuk kaki dan tangan yang cedera atau diamputasi, otoprostetik ditujukan untuk tubuh yang cacat secara konseptual atau dilemahkan oleh kreasi dunia yang skalanya tak lagi manusiawi.”

—Rebecca Solnit, Wanderlust: A History of Walking

Mohamad Banounah sedang kesakitan.

Ia meringkuk di bawah kelambu sambil memegangi pinggangnya. Sudah lewat jam satu pagi. Sang surya mulai menyulut ketelnya dengan hidrogen di sisi jauh Bumi. Di atas kepala kami, rasi bintang membakar sejuk bak makhluk biru-kehijauan bawah laut.

“Kembalilah tidur,” desah Banounah, mengusir saya dengan lemah. “Saya baik-baik saja.”

Namun teman seperjalanan saya dari Saudi itu tidak baik-baik saja. Matanya tampak sayu di bawah pendar senter saya. Ia mengaku, nyerinya seperti ditikam pisau. Ia nyaris tak mampu berdiri. Maka, penyedia logistik kami, Farhan Shaybani, menyiapkan kendaraan bantuan. Kami tergopoh-gopoh membangunkan Awad Omran, pengurus unta kami; ia harus menjaga kemah. Saya dan Farhan pun melarikan Banounah ke rumah sakit.

Dari jok depan, saya menoleh dan mengamati teman saya: lelaki berkepala plontos yang gigih dan keras kepala, tergolek lemah di atas peranti kemah ekstra seberat ratusan kilogram. Ada gulungan karpet Persia besar yang dijejalkan ke mobil. Ada kantung tidur tambahan. Ada empat atau lima kursi safari lipat, perlengkapan minum teh lengkap, dua tenda tak berguna, empat kompor kemah nan serasi, serta dua peti besar dan misterius yang mungkin berisi batang logam atau entah apa.

Intinya, perkakas superlengkap yang diboyongnya melintasi gurun pasir. Banounah masih bisa tersenyum di tengah kesengsaraannya. (Di bawah sorot lampu jingga jalan raya yang terang benderang, wajahnya kadang terlihat, kadang tertutup bayang-bayang.) Ia tahu betul, bagasinya membuat saya geregetan. Saya pernah menentang keras niatnya untuk membawa mobil bantuan. (Ini jalan kaki—saya menceramahinya di Riyadh—bukan balapan Paris-Dakar.)

Namun, GMC Yukonnya yang babak belur dan saya anggap penghinaan terhadap kecakapan unta-unta saya, bahkan pernah saya perintahkan untuk dibawa pergi selama berhari-hari, kini malah menyelamatkannya. Meringankan deritanya. Menolongnya. Mungkin juga menyelamatkan nyawanya. Banounah terbukti benar.

Kami memasuki kota di waktu malam. Jalan-jalan lengang dan toko-toko sudah tutup. Banounah muntah di pinggir jalan. Di pos Sabit Merah, saya menemaninya naik ke dalam ambulans. Tubuh Banounah terpental-pental di usungan. Disusul lampu besar mobil Farhan.

Kenapa pula saya melakukan ini? Kenapa Banounah saya ajak berjalan menyongsong kemalangan?