Lalu, ada suatu sore di danau garam Masturah yang panasnya memanggang.
Kami tengah berjalan di bawah silaunya cahaya mentari. Udara bagaikan uap panas—seolah kami bernapas melalui kapas basah. Lalu, tanpa peringatan, kami diterpa gelombang hawa dingin yang mengejutkan, getaran yang bertahan mungkin beberapa detik: dingin, tidak wajar, tetapi indah, bagai membuka dan menutup pintu kulkas raksasa. Saya pikir saya sedang berhalusinasi. Saya lirik teman-teman seperjalanan saya. Awad Omran, pengurus unta dari Sudan, hanya mengangguk mengiyakan dalam diam. Namun Banounah tersenyum lebar sekali. Saya menggumamkan sesuatu tentang mikroklimat, konveksi, dan keajaiban arus udara. Banounah, seperti biasa, terkekeh menertawakan rasionalisme saya. “Kita bernasib mujur, teman-teman!” sahutnya. “Tuhan bersama kita!”
Saya melewatkan bulan Ramadan di kota pesisir Yanbu, menanti Mohamad Banounah pulih dan bergabung lagi dengan kami. Namun ia tak bisa. Ia telah pulang ke rumahnya, di Riyadh. Keesokan harinya, penggantinya, seorang pemuda bernama Ali al Harbi, duduk terlentang dalam kondisi linglung, tampak sengsara dan bermandi keringat di dalam “tungku” pondok gembala yang kami singgahi. Ponselnya berdering. Dalam semenit, ia sudah tertawa-tawa. Ah, tentu saja itu Banounah, yang menelepon untuk mengobarkan semangat kami.
“Ia memuji kita setinggi langit,” kisah Ali. “Ia berjanji bahwa hari ini, ia berjalan mengiringi kita di dalam hatinya. Dan ia yakin bahwa kakekmu, Paul, pasti orang Arab.”