Pada Desember 2004, sebuah gempa mematikan terjadi di pesisir Pulau Sumatra yang memicu tsunami terbesar dalam sejarah, yang menewaskan hampir seperempat juta orang—sebagian besar di Provinsi Aceh. Sepuluh tahun kemudian, BBC Indonesia kembali ke Aceh untuk mengetahui bagaimana para korban selamat bertahan dan bagaimana perubahan yang terjadi di Aceh sejak 10 tahun lalu.
Sekilas Rina tampak seperti anak perempuan Indonesia lain yang berusia 14 tahun. Pemalu dan berisi, dia belum kehilangan wajah anak-anaknya di usia yang sedikit lagi memasuki remaja. Kami bertemu pada suatu hari Minggu, karena dia tengah sibuk belajar untuk ujian—ayahnya Mustafa mengatakan kepada Rina agar selalu menjadi murid nomor satu di sekolahnya.
"Saya selalu mengatakan kepada dia agar belajar dengan giat," dia mengatakan kepada saya." Dia ingin menjadi seorang dokter. Apapun saya lakukan untuk dia. Kami hanya memiliki satu sama lain."
Rina dan Mustafa selamat dari tsunami. Kisah penyelamatan mereka menakjubkan."Saat itu hari Minggu, dan saya tengah duduk dengan keluarga pagi itu," cerita Rina.
"Saya merasa gempa yang sangat kuat. Setelah beberapa menit, seorang pengemudi becak mampir ke rumah kami, dan mulai berteriak, "Air datang dari laut ke daratan! lari!." Kami semua mulai berlari. Saya memegang tangan ibu saya tetapi dia terbawa ombak, dan saya berpisah dengan dia. Ketika saya bangu, saya sendirian, dikelilingi air kotor dan mayat.
Rina berusia empat tahun pada saat itu.
Dia diselamatkan oleh sekelompok siswa, yang kemudian menyerahkannya kepada sebuah keluarga. Dia mengatakan mereka mendaftarkan namanya ke lembaga bantuan Inggris Save the Children.
Dia tidak pernah melihat ibunya atau kakak perempuannya lagi.
Sementara itu, ayah Rina, Mustafa kembali ke Aceh dari perjalanan bisnis, dua hari setelah tsunami menerjang.
!break!
Apa yang dia dapati ketika melihat rumahnya untuk pertama kali masih membekas dalam ingatannya.
"Tidak ada apapun disini," dia mengatakan kepada saya sembari menunjukkan sekeliling rumah. Ada lubang yang besar di tembok dimana air menyembur, merusak beton.
"Saya bertemu dengan seorang tentara dalam perjalanan pulang saya. Dia mengatakan kepada saya "Aceh sudah selesai". Saya tidak pernah lupa itu".
"Ketika saya datang ke rumah, saya berpikir tidak ada yang tersisa. Tidak ada orang yang selamat. Kecuali saya. Saya berjalan diantara mayat-mayat dan kemudian menemukan saudara laki-laki saya. Mereka mengatakan seluruh keluarga saya telah meninggal."
Tetapi, Mustafa tidak mengetahui Rina anaknya yang berusia 4 tahun masih hidup.
"Ayah mengajarkan saya dari sejak kecil tentang nama jalan, nama saya, nama orangtua dan semuanya,' kata Rina. "Jadi ketika orang-orang di Save the Children bertanya saya terus mengulangi omongan yang sama: nama saya Rina, dan nama ayah saya Mustafa. Sepanjang waktu sampai dia menemukan saya."
!break!
Save the Children memajang foto Rina dibanyak tempat di Banda Aceh setelah bencana tsunami.
Hampir sebulan setelah bencana, ayah dan anak perempuan itu dipertemukan embali.
Idil Saputra yang bekerja untuk organisasi bantuan pada saat itu menceritakan;"Saya memperlihatkan foto Rina kepada empat orang termasuk Mustafa. Saya bertanya kepada dia—mana yang merupakan ayahmu—dan dia terus menunjuk foto Mustafa," kata Idil.
"Peristiwa yang mengharukan ketika dua orang ini dipertemukan kembali di kantor kami. Mustafa dan Rina menangis. Faktanya kami semua menangis. Itu pertama kalinya kami mempertemukan kembali banyak keluarga setelah bencana."
Anda tidak dapat menjauh dari tsunami di Aceh. Setiap orang memiliki cerita tentang hari ketika bencana terjadi.
Tak jauh dari pusat kota, di Desa Lampulo, terdapat 'situs' tsunami.
Sebuah kapal besar berada diatas sebuah rumah yang terabaikan, tembok yang hancur mengingatkan kita bagaimana kerusakan yang diakibatkan kekuatan gelombang.
Tempat itu menjadi kunjungan turis, karena memiliki cerita yang mengagumkan."Kapal ini sedang diperbaiki di pelabuhan terdekat ketika tsunami terjadi," kata Saipun, seorang pria tua yang kami temui di lokasi tersebut, dia menceritakan kejadian itu kepada rombongan turis Malaysia.
"Itu terbawa ombak beberapa kilometer dan mendarat disini, dekat rumah. Sebanyak 59 orang bertahan di atap rumah, dan yakin mereka akan tenggelam dalam ombak. Kemudian kapal ini datang dan mereka selamat. Ini merupakan pelajaran dari Allah. Jika kami tidak menjalankan pesannya, bencana akan kembali terjadi."
Itu merupakan ungkapan yang bijaksana, dan tak pernah lepas dari ingatan mereka yang selamat dari bencana. Cara mereka untuk menghargai kenangan bagi yang sudah meninggal adalah dengan hidup dan tidak bersembunyi dalam ketakutan.
"Saya dulu takut," kata Rina kepada saya. "Saya merasa takut dalam waktu yang cukup lama. Saya selalu berpikir saya akan kehilangan ayah saya, karena saya telah kehilangan semua orang. Tetapi ayah saya mengajarkan apa yang harus saya lakukan sekarang jika ada gempa lagi, dan dimana kami harus bertemu jika kami terpisah. Saya tidak takut lagi."
Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu akan tetap hidup di Aceh selama beberapa generasi mendatang.