Menyelamatkan Batas Akhir Peradaban Bumi

By , Jumat, 26 Desember 2014 | 19:20 WIB

Mestinya, para pemimpin dunia yang berkumpul dalam perundingan perubahan iklim di Lima, Peru, Desember 2014 ini telah membaca novel filsafat Jostein Gaarder bertajuk Dunia Anna (Mizan, 2014). Novel berjudul asli Anna: En fabel om klodens klima og miljo (Sebuah dongen tentang iklim dan lingkungan bumi) diterbitkan H.Aschehoug & Co (W.Nygaard) pada 2013.

Novel ini menceritakan pengembaraan batin selama dua hari dari seorang gadis remaja 16 tahun bernama Anna. Anna menyentil hakekat keberadaan manusia sebagai bagian dari penanggung jawab kehancuran alam semesta.

Diceritakan, Anna baru saja mendapatkan hadiah ulang tahunnya. Dia menghayal melalui ritme yang cepat melintasi dimensi waktu, jarak dan ruang. Anna, gadis belia itu digambarkan memiliki kemampuan menelisik jauh ke masa lampau dan terbang jauh ke masa depan.

Dimasa lalu, dia bertemu neneknya bernama Olla. Pertanggung jawaban Olla atas dunia yang kini ditempati Anna adalah sebuah pertanggung jawaban moral yang melibatkan sebuah cincin rubi berusia ratusan tahun. Cincin itu, diklaim sebagai cicin asli Aladin dari dongeng 1001 malam.

Sementara di masa depan, Anna dikejutkan dengan lintasan bayangan Nova, cucunya sendiri. Melalui gadget canggih di tangannya, Anna mengembara ke masa depan. Ia bahkan mampu berjalan-jalan pada sebuah kebun binatang virtual di Amsterdam, kota yang juga menjadi pusat peradilan iklim.

Orang banyak memandang ke arah proyeksi foto yang ditampilkan di gedung PBB. Pameran foto bertajuk (Foto: Timothy A Clary, AFP/Getty Images)
!break!

Ketiga generasi ini adalah perwakilan kehidupan alam semesta. Bumi, sebuah titik kecil di jagat raya menjadi saksi kehancuran dirinya sendiri atas ulah generasi-generasi yang mendiaminya. Bumi adalah perwakilan kosmis unik dengan jejak-jejak peradaban yang melancarkan jalan menuju kehancurannya sendiri.

Di masa Anna, dalam usianya yang ke-enam belas pada 12 Desember 2012 (12-12-12), Bumi telah mengalami perubahan yang signifikan. Pencairan es di kutub-kutub bumi telah memicu perubahan Iklim. Norwegia, negara dimana Anna tinggal telah menjadi tepat bagi para pengungsi iklim dari jazirah Arab. Para pengungsi ini mencari tempat hidup baru yang sesuai dengan kebutuhan manusia.

Orang-orang berkumpul dan berpartisipasi dalam People's Climate March (Gerakan Rakyat untuk Iklim) di Kota New York, yang mengawali pertemuan Puncak Pertemuan Iklim PBB, yang mulai dilangsungkan pada hari ini, Selasa (23/9). (AP Photo/Craig Ruttle)

Negara-negara yang dulunya dingin, Norwegia yang diceritakan Jostein, merupakan tempat paling cocok buat para pengungsi iklim itu untuk menetap. Tapi iklim yang terus berubah akibat eksploitasi sumber-sumber minyak bumi serta penggunaannya yang tidak bertanggung jawab telah mengantarkan kehidupan di Bumi pada sebuah kehidupan yang tidak lagi nyaman bagi makhluk hidup.

Lewat kecanggihan teknologi, Anna setiap saat menerima pesan kepunahan salah satu spesies di muka bumi. Melalui internet, Anna berkomunikasi dengan nenek dan cucunya sendiri.

!break!

Sebagai sebuah novel, Jostein hanya butuh dua hari menceritakan seluruh isi alam dan perubahannya. Berikut dengan kehancuran dan canggungnya generasi Anna yang terpukau oleh kejahatan kemanusiaan di belahan Afrika, es di kutub yang meleleh, sumberdaya alam yang kian menipis serta punahnya kehidupan liar di Amerika Selatan.

Jostein menjelma ke semua karakter yang dia ciptakan sendiri. Benjamin—seorang psikiater yang anaknya tengah diculik oleh kelompok bersenjata di Afrika—menjadi sahabat Anna dalam pencariannya atas sebuah kehidupan yang ideal. Jostein (dari dalam diri Benjamin) menjadi penganjur atas sebuah kelompok pecinta lingkungan yang melibatkan anak-anak muda.

Jonas yang juga Jostein, si penganjur itu, menjadi otak atas pengelolaan dana lingkungan disenatero jagat melalui kotak-kotak sumbangan, judi dan lainnya. Jostein—melalui Jonas—menyempatkan diri menjadi pengkritik atas kinerja pemimpin dunia dalam perundingan iklim.

Guna bertahan dari ancaman perubahan iklim, petani di Padangpariaman, Sumatera Barat belajar memuliakan benih padi lokal melalui sekolah lapangan. Di Indonesia, persediaan benih ditingkat petani saat ini sangat tergantung benih hibrida. Karenanya, mereka memuliakan setidaknya 15 varietas padi lokal. Varietas-varietas tersebut ada yang mampu bertahan dari suhu panas, kekurangan atau kelebihan air, bahkan salinitas tinggi. Umur panen padi lokal juga bervariasi antara 3 hingga 7 bulan. (Syafrizaldi/FFI)

Jostein memang pedas, dia tidak ragu menelanjangi para pemimpin dunia yang terus menerus gagal dalam merundingkan nasib generasi dan umat manusia. Dia juga menjadi penghayal yang melampaui kemampuan berpikir manusia kebanyakan lewat pengadilan iklim, dimana para kontributor perusak iklim diadili dalam sebuah sistem pengadilan terbuka.