Novel ini layak menjadi bacaan para pemerhati lingkungan dan perubahan iklim. Tak hanya itu, novel ini semestinya menjadi bacaan seluruh penghuni planet. Lantaran novel ini mengusik kenyataan yang harus dihadapi semua orang dalam meretas kehidupannya.
!break!Kepunahan flora dan fauna, saat ini tanpa disadari telah mulai mengancam keseimbangan ekosistem. Satwa-satwa kunci pada puncak rantai makanan satu per satu sudah mulai hilang dari kehidupan liar. Hal ini menjadi penanda keseimbangan ekosistem sudah terganggu sedemikian hebat.
Dilain sisi, kesadaran atas pentingnya ekosistem terlidas oleh putaran roda ekonomi yang jahat. Hutan-hutan ditebang untuk diambil kayunya. Sementara tanah bekas galian tambang dibiarkan terbuka menjadi hamparan padang pasir sepanas neraka. Sumber-sumber minyak bumi dikuras habis dari sumur-sumur tua dan eksplorasi sumur baru terus berlanjut tanpa hambatan.
Sungguh bumi dalam krisis yang gawat, tanpa disadari. Kekhawatiran Jostein terpampang jelas dari lembaran-lembaran cerita Anna. Bencana alam, perlahan-lahan berubahan menjadi bencana kemanusiaan. Perebutan kekuasaan di dunia—tidak dapat dipungkiri—adalah perebutan atas sumber-sumber kehidupan.
Jostein tidak lagi mengkritik tentang bagaimana populasi manusia membludak sedemikian hebat. Tapi kritik Jostein justru ditujukan pada pola konsumsi dimana keserakahan manusia telah menyebabkan sumberdaya alam berada dalam posisi yang rentan. Cadangan sumber daya alam terkuras demi memenuhi syahwat manusia hari ini, tanpa berpikir tentang apa saja yang dapat kita sisakan untuk penghuni bumi di masa depan.
Tapi siapakah peduli? Siapa yang harus bertindak? Sementara kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh para pemimpin tak lepas dari kepentingan sesaat yang sesat.
Novel ini adalah titik balik sebuah pemikiran baru tentang jagat raya. Di mana bumi adalah bagian tidak terpisah dari kosmis yang sedemikian tak terhingga. Adakah kesadaran itu muncul secara bersamaan? Atau justru kesadaran itu akan muncul ketika bumi sudah tidak sanggup lagi menerima beban dari penghuninya.
Dengan keras, Jostein mengkritik umat manusia di halaman 120. Dia mengatakan "Kita menghancurkan planet kita sendiri. Kitalah yang telah melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang."
Kritik itu mempertegas kiritik sebelumnya. Pada halaman 66 dia menulis: "Di satu sisi kita adalah bagian dari sebuah generasi yang berhasil mengeksplorasi alam semesta dan memetakan genom manusia. Tapi di sisi lain kita adalah genersi pertama yang melakukan kerusakan alam yang serius."
Lalu, apakah Anna mampu menjadi insirasi gerakan untuk menghentikan segala kerakusan peradaban manusia? Apakah seorang Anna akan menjawab skenario global dalam mencegah peningkatan jumlah gas rumah kaca di atmosfir bumi? Mungkinkah Anna menjadi pahlawan jagat raya yang akan mempertanggung jawabkan segala kehancuran ini kehadapan generasi mendatang? Atau Anna hanyalah sebuah simbol dari semakin menipisyna perasaan umat manusia akan hidup yang berkelanjutan?
Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah bagain kecil dari kecamuk pemikiran Jostein. Dia mungkin juga ragu dengan pertanyaannya sendiri, tapi waktu terus berputar.
Perundingan-perundingan tingkat dunia tentang iklim dan lingkungan tentunya tidak menunggu pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Justru kesadaran kitalah yang dituntut untuk menyerahkan kehidupan bumi in kepada cucu dan cicit kita di masa depan.
Anna barangkali hanyalah simbol dari sebuah peradaban yang nyaris hancur. Mungkinkah kita, semuanya yang ada dimuka bumi ini akan berakhir seperti suku Inka di Belize? Atau berakhir sebagai Dinosaurus yang hanya ditemukan fosilnya oleh generasi yang muncul entah berjuta tahun setelah ini?
Perenungan dan penghayatan yang dalam dibutuhkan agar novel ini dapat menyentuh sisi kemanusian kita yang bertanggung jawab. Tanpa itu, kesadaran sebagai titik kecil dari semesta alam tentunya tidak akan muncul. Melalui titik kecil inilah, kita berbuat sesuatu. Sesuatu yang akan sangat berarti bagi kelangsungan kehidupan dari miliaran galaksi dan kenyataan kosmis lainnya.