Dicocol kecap asin, daging terasa gurih, lembut, lunak sekali sehingga mulut tidak perlu bekerja keras untuk mengunyahnya. Bahkan cukup dikulum, daging sudah serasa lumer di mulut. Terasa sayang untuk segera menelannya.
Bawang putih yang disiapkan tadi kami jadikan kawan bagi si wagyu hingga menciptakan kegurihan baru.
Dengan sumpit, kami coba juga mencolekkan daging itu dengan sedikit garam, merica, dan wasabi yang terasa mak sengkring menyetrum tekak. Kami membiarkan rasa daging gurih itu lebih lama memanjakan lidah ndeso yang nggumun alias kegirangan berkenalan dengan daging sapi kobe.
Teater belum selesai. Ketika kami menikmati steik, sang chef menyiapkan babak selanjutnya, yaitu menyiapkan sajian tumis taoge, dengan campuran sedikit lemak daging. Asap yang mengepul di depan mata sama sekali tidak mengganggu karena segera hilang oleh alat penyedot asap. Aromanya justru kembali merangsang selera. Taoge yang kaya serat dan mengandung vitamin A, B, C, D, E, dan K itu menjadi menu ideal pendamping steik daging sapi kobe.
Sebagai penutup, tersaji pilihan teh hijau, teh olong, dan kopi. ”Panggung teater” wagyu memang telah tutup. Suara 'kress' dan 'nyess', dan tentu saja rasa wagyu di Kobe itu masih tersimpan di memori rasa.