10. Kaitan Gunung Api dan CuacaPelajaran erupsi mahadahsyat yang dilampiaskan Tambora telah menyadarkan manusia bahwa terdapat pertalian antara aktivitas vulkanik dan perubahan cuaca. Pada 1816, kawasan Eropa terancam kekurangan pangan karena ternak dan tanaman binasa. Pada masa yang sama, suhu tak menentu di kawasan Amerika belahan utara yang dilanda suhu panas dan dingin. Sementara, Amerika bagian timur laut justru dilanda suhu dingin yang mencekam. Burung-burung liar bermigrasi dan menghuni rumah-rumah. Petani menderita kegagalan panen tanaman pangan dan sayuran, pasokan makanan. Para tukang batu menghentikan pekerjaan mereka lantaran adonan semen membeku. Dunia mengenang fenomena cuaca aneh pada 1816 dengan sebutan: "Year Without A Summer"—Tahun Tanpa Musim Panas.
Dampak Tambora telah mengingatkan kita tentang dera bencana gempa bumi dan tsunami di negeri untaian gunung berapi ini. Bagi Indonesia, bencana bukanlah sekadar masa lalu, tetapi juga kehidupan kini dan kelak. Kini, Tambora telah terlelap dalam istirahat yang panjang setelah letusan terakhirnya pada 1967. Berdasar sejarah erupsi Tambora, periode erupsi gunung tersebut berkisar antara 3 hingga 89 tahun.
“Gunung Tambora saat ini perlu diwaspadai,” ungkap Agus Budiono selaku kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunungapi, yang berkantor di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. “[Perlu] upaya mitigasi berupa monitoring aktivitasnya [dengan] lebih saksama agar aktivitas erupsi dapat diprediksi sedini mungkin, sehingga korban jiwa dapat diminimalkan.”