Baca Juga: Kisah Saedah Saenih di Balik Budaya Mengais Koin di Jembatan Indramayu
Berdasarkan hasil riset, teknik pengerjaan logam kuno yang dilakukan di situs-situs di hulu Barito adalah mengerjakan dari bahan baku (iron ore) menjadi logam mentah (raw material atau ingot).
"Mulanya, batu dipecah kecil-kecil dengan menggunakan pahat dan palu, kemudian dibawa ke buren yang berjarak sekitar 700 meter dari Saing Imang, dengan cara digendong menggunakan keba (sejenis keranjang bertali dari rotan)," tambahnya.
Setelahnya, batu tersebut dibakar dengan arang. "Supaya tidak meledak-ledak, tumpukan batu tersebut ditutup dengan dinding dari tanah (dapuran) dengan tinggi sekitar satu meter," sambungnya.
Setelah mencapai panas yang cukup (sekitar 1.538 derajat Celcius), batu besi akan melebur. "Batu yang mengandung besi akan memisah menjadi logam mentah (raw material) dan sisanya menjadi terak besi (slag)," terang Hartati.
Besi setengah jadi dapat langsung dibuat alat dengan dipanaskan lagi dan dibentuk menjadi alat yang diinginkan, seperti parang, keris, mandau, badik, dan jamiya. Diperkirakan pembuatan uang logam kuno tersebut ditujukan untuk perdagangan lokal masyarakat kuno Barito sejak abad ke-14 hingga 15.
"Aktivitas pengolahan logam besi dari bahan mentah (batu besi) yang dilakukan di buren telah ditinggalkan paling cepat 145 tahun yang lalu dan kemungkinan lebih lama dari itu sesuai dengan hasil radiokarbon yang berada dalam rentang sebelum tahun 1809," lanjutnya.
"Aktivitas peleburan besi yang ada di Kalimantan Tengah, khususnya wilayah hulu Barito, telah berlangsung dalam empat generasi yang lalu, tetapi keturunan sekarang tidak melebur lagi dan hanya menempa besi bekas," tambahnya.