Gairah Baru Lahirkan N219

By , Senin, 26 Januari 2015 | 14:37 WIB

Kunjungan lapangan di Bandara Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, tahun 2005, membuat Palmana Banandi (45) terenyak. Sugapa ada di antara Pegunungan Cartenz. Panjang landasannya tak lebih dari 600 meter. Sugapa adalah wajah geografis Indonesia yang memerlukan respons teknologi penerbangan yang fleksibel.

”Banyak bandara dengan kondisi seperti itu di Indonesia wilayah timur. Lengah sedikit bisa sangat berbahaya,” ujarnya.

Kondisi itu bukan satu-satunya persoalan. Data lain menyebutkan, banyak pesawat di daerah terpencil butuh penyegaran. Usianya 20 tahun atau kurang dari 5-10 tahun memasuki usia pensiun. Pesawat-pesawat yang mengudara di langit Papua termasuk di antaranya.

”Data dan fakta itu memberi keyakinan, dibutuhkan pesawat lincah, harga terjangkau, dan perawatan mudah, tetapi mampu membawa banyak penumpang dan barang bawaan,” kata Palmana.

Serangkaian fakta dan kebutuhan itulah yang jadi alasan di balik pentingnya pembuatan pesawat turboprop Nusantara 219 (N219). Pesawat itu bisa menjadi jembatan warga, barang, hingga militer melintasi daerah berkondisi geografis sulit hingga rentan perubahan cuaca ekstrem.

Digagas tahun 2004, desain N219 hampir rampung. Tahun ini, PT Dirgantara Indonesia (DI) menargetkan satu pesawat purwarupa dan satu pesawat untuk pengujian struktur. Uji struktur mengukur kekuatan pesawat pada titik paling rentan.

”Area paling kritikal di bagian sayap. Melalui tekanan hidrolik akan dilihat seberapa besar sayap menerima beban maksimal. Hasil tes dijadikan panduan laik atau tidak N219 terbang. N219 punya keunggulan menghubungkan daerah terpencil Indonesia,” kata Palmana yang adalah Chief Engineer PTDI untuk pesawat N219.

Salah satu kunci penting N219 ada pada sistem aerodinamika dan avionik. Sistem aerodinamika N219 mirip pendahulunya, N250 dan CN235, yang dibuat tahun 1990-an. Jauh lebih mudah ketimbang kompetitor yang mengandalkan desain tahun 1960-an.

Itu memberi keunggulan meraih kecepatan minimal untuk daya angkat (stall speed) 59 knot. Stabil pada kecepatan rendah bisa memberi keuntungan saat pesawat harus bermanuver melintasi daerah sempit di antara tebing tinggi. Aerodinamika perpaduan dari N250 dan CN235 juga memungkinkan pesawat mendarat mulus meski landasannya rumput atau tanah sepanjang 500 meter.

!break!

Sistem avionik N219 pun diyakini lebih unggul. Pada tubuhnya dibenamkan Garmin 1000. Perangkat ini lazim dibenamkan pada pesawat kategori FAR (Federal Aviation Regulation) part 23 masa kini. Salah satu ciri pesawat FAR part 23, penumpangnya tidak lebih dari 19 orang.

Menggunakan G1000, pilot dimudahkan radar cuaca yang memetakan awan berserakan di udara. Pilot juga akan ditemani teknologi terrain alerting and warning system (TAWS).

BPPT
Menurut Palmana, TAWS bisa memberi gambaran tiga dimensi saat pesawat mendekati daratan, termasuk peringatan jika ada tebing di depan. TAWS diklaim lebih canggih ketimbang ground proximity warning system (GPWS) yang tanpa citra tiga dimensi. ”Cocok terbang melintasi daerah pegunungan,” katanya.