Ada Apa dengan Batu Akik?

By , Minggu, 8 Februari 2015 | 19:00 WIB
!break!

Selain sebagai kegemaran, batu juga dijadikan peluang mendulang uang. Ini antara lain dilakukan Andi Nugraha (26), analis pada sebuah bank. Dia tidak keberatan melepas beberapa butir batu kesukaannya jika memang harganya cocok. Apalagi jika nilai tukarnya bisa sampai dua kali lipat dari harga beli.

Andi kini menyimpan lima butir batu jenis chalcedony, kecubung, pyernhite nigeria, dan american black star, yang harganya mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 500.000. "Kalau pandai menjual, bisa untung dua kali lipat," kata Andi, yang beberapa hari lalu menjual dua batu seharga Rp 350.000. Padahal, dia hanya membeli dengan harga setengahnya.

Agus Hadyana (37), wartawan dan pekerja seni di Bandung, melihat maraknya kegilaan terhadap batu sebagai peluang mengumpulkan dana untuk kegiatan seninya. Agus tak ingin bergantung pada bantuan pemerintah atau mengajukan proposal ke lembaga-lembaga untuk mencari dana. Dia berpikir, menjual batu bisa menjadi jalan keluar.

Belakangan dia rajin mengunggah gambar-gambar batu bacan, kalimaya, ruby, dan pancawarna lewat BBM dan via internet. Batu-batu itu dia dapatkan dari rekan-rekan sesama pekerja seni. Dia jual dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai puluhan juta rupiah.

!break!

Menjaring sahabat

Kepala LKBN Antara Sumatera Utara Simon Pramono (53) semakin keranjingan batu setahun terakhir. Sebelumnya dia memang pengoleksi batu-batu mulia sejak 1985, tetapi semakin menggila akhir-akhir ini. Simon mengoleksi berbagai batu mulia dari Aceh, Malaysia, bahkan Nigeria.

Baginya, batu-batu itu bukan sekadar benda mati, melainkan dapat menjadi perekat persahabatan. "Prinsipnya, satu batu sejuta kawan, he-he-he," ujar Simon, yang mengoleksi tak kurang dari 200 butir batu berbagai jenis dan ukuran ini.

Simon termasuk murah hati karena kerap memberikan batu-batu itu sebagai tanda mata kepada rekan-rekan dari luar kota yang berkunjung ke Medan. "Nah, sering juga di antara mereka memberi mahar sampai Rp 10 juta," kata Simon.

Antropolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, PM Laksono, mencermati kecintaan pada batu sejatinya sudah terjadi sejak lama. Tren yang berlangsung akhir-akhir ini, menurut Laksono, hanya karena dampak publikasi dari media. "Waktu muda, saya bermain bola untuk tim Fakultas Sastra UI. Salah satu pemain dari Papua datang dan memasukkan batu ke kantong saya. 'Supaya kita menang' katanya. Batu punya daya magis untuk selalu diceritakan," ujarnya.

Dalam batu ada struktur, ada lapisan, ada uratnya. Garis dan titik dalam batu itu mempunyai daya yang mengusik perhatian. Harga batu akik yang tinggi tak terlepas dari cerita di balik batu tersebut. Detail dalam batu, menurut Laksono, memungkinkan orang membangun cerita. Karena bisa diceritakan, batu jadi memiliki kekuatan.

!break!

Sosiolog Jean Couteau mengatakan, fenomena batu di Indonesia bukan hal baru. Sejak dulu batu akik secara tradisional dianggap memiliki kekuatan magis. Jika tiba-tiba fenomena itu meledak sekarang, "Barangkali punya kaitan dengan kebuntuan sosial politik yang kini terjadi. Lalu orang lari pada batu-batu." Namun, kata Jean, itu analisis yang masih bisa diperdebatkan. Ia hanya bersandar pada kecenderungan orang-orang Indonesia yang secara tradisional memilih meratap pada benda-benda ketimbang mempertanyakannya secara rasional.

Kini, seni berbicara lewat batu yang membuat orang-orang percaya tentang keampuhan serta kekuatan batu. Kekuatan batu bercerita ini pula yang membuat transaksi batu bisa berlangsung berjam-jam. Pedagang dan pembeli batu diibaratkan sedang saling berwacana untuk menaklukkan pikiran. "Pikirannya yang berharga. Pikiran yang ditempelkan pada batu dan terverifikasi oleh struktur batuan," kata Laksono.

Lebih dari kemampuan menjalin dialog lewat batu, batu juga menjadi ajang aktualisasi diri. Pemiliknya bisa narsis dan merasa punya kekuatan lebih ketika memakai batu.