Kisah Tongkat Sang Pangeran, Diponegoro

By , Jumat, 10 November 2017 | 11:00 WIB

Selain tongkat ziarah, pameran juga menghadirkan benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain. Sebut saja tombak Rondhan dan pelana kuda, yang sebelumnya juga berada di Belanda. Artefak-artefak itu diperoleh ketika pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang dipimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.

Lukisan berjudul (Goethe Institut)

Diponegoro berhasil meloloskan diri. Namun, tombak Rondhan, peti pakaian, kuda, dan barang berharga lain tidak dibawa serta. Pasukan penjajah merampas dan menyerahkan artefak berharga tersebut kepada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta tahun 1813-1840). Pada tahun 1978, Ratu Belanda Juliana mengembalikan tombak Rondhan dan pelana kuda itu ke Indonesia.

Pelana kuda itu menyimpan kisah Diponegoro sebagai penunggang kuda hebat. Dia memiliki istal luas di kediamannya di Tegalrejo. Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dianggap sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.

Pelana kuda, tinggalan Dipanagara yang kini menjadi koleksi Museum Nasional. Sang pangeran itu meninggalkan beberapa kuda, senjata, dan busana perang sabilnya ketika serdadu sekutu Belanda di bawah komando Mayor Andreas Victor Michiels nyaris menangkapnya. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)

Sebenarnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil. Sayangnya, jubah berbahan sutra shantung dan cinde berukuran 200 X 100 sentimeter tersebut tidak ikut dipamerkan. Benda tersebut tetap berada di Museum Bakorwil II Magelang.

Kisah di balik jubah itu juga menarik. Jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829. Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Selama lebih seabad keluarga Diponegoro menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.

!break!

Penangkapan Diponegoro

Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini adalah lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro". Karya ini dipamerkan bersama karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.

Kurator Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada 1856-1857 berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada tahun 1978, Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.

Halaman gedung karesidenan di Magelang yang menjadi saksi tipu daya Belanda terhadap Pangeran Dipanagara di gedung itu pada 1830. Simak kisah Dipanagara dan Perang Jawa di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014. (Budi ND Dharmawan)

Sebenarnya lukisan itu mengandung kritik tersembunyi. Raden Saleh mencela siasat tak etis pada penangkapan Diponegoro dan kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama tahun 1835. Dari yang sekarang terungkap dari lukisan itu, kita juga mengetahui bahwa berita penangkapan Diponegoro tersebar ke Eropa.

Selain lukisan penangkapan, ditampilkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yaitu "Harimau Minum" (1863), dan "Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu" (1871). Lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" dan "Harimau Minum" adalah koleksi Istana Negara, sedangkan "Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu" koleksi pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Ketiga karya itu direstorasi ahli dari Jerman pada tahun 2013 atas prakarsa Yayasan Arsari Djojohadikusumo.

Semua benda dalam pameran "Aku Diponegoro" berhasil menghidupkan kembali kenangan akan sosok pahlawan itu. Memasuki ruang pameran, lingkaran sejarah serasa berulang.

Anies Baswedan mengapresiasi pergelaran ini sebagai usaha untuk membangkitkan kesadaran terhadap sejarah, figur, dan peran Diponegoro dalam melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan masyarakat saat itu. Narasi perjuangan itu diharapkan terus hidup dan menular kepada generasi muda Indonesia dari masa ke masa.