Kegiatan anak-anak muda itu ternyata berkembang. Di Teluk Awur, KeSEMaT telah menanami 6,4 hektare lahan dengan 17 jenis tanaman bakau dan kini menjadi habitat berbagai jenis hewan primata, burung, dan reptil.
Kelompok ini banyak mendampingi warga agar mendapat perhatian pemerintah. Mereka tergabung dalam kelompok kerja baku dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Kelompok ini mendapat penghargaan Tunas Lestari Kehati pada Januari lalu.
Para alumni KeSEMaT membentuk CV KeSEMaT Mangrove Indonesia (Kemangi) yang bergerak dari sisi bisnis, seperti menyediakan bibit bakau untuk pemerintah dan BUMN. Prenjak juga memproduksi bibit bakau yang ditawarkan kepada BUMN, pemerintah, maupun masyarakat. Lebih jauh lagi, Prenjak mengembangkan budidaya bandeng dan membuat alat penahan ombak.
"Tambak di daerah ini tercemar limbah pabrik yang dibuang ke sungai. Ukuran bandeng kian mengecil. Setelah bakau tumbuh besar dan banyak, ukuran bandeng membesar. Ternyata mangrove membantu mengembalikan kondisi air ke arah ideal," jelas Arifin.
Ekowisata
Bukan hanya manfaat lingkungan, semangat para pemuda merehabilitasi bakau tumbuh terlebih karena mendapat manfaat ekonomi dari penjualan bibit, pengolahan bakau menjadi aneka penganan, hingga budidaya bandeng.
Para pemuda ini bercita-cita menjadikan lokasi desa mereka sebagai tujuan ekowisata bakau. Namun, hal tersebut terganjal kepemilikan lahan sebuah perusahaan swasta.
Melalui Prenjak pula, banyak anak muda putus sekolah dapat melanjutkan sekolah hingga tingkat SMA. Meski upaya rehabilitasi hutan bakau telah dilakukan berbagai pihak, ternyata tetap tidak sebanding dengan laju kerusakan.
Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jateng Wahjudi Djoko Marjanto menyebutkan, pembangunan sabuk pantai terus dilakukan tiap tahun, tetapi masih sangat kurang dari kebutuhan.