Saksi Bisu Sejarah Bahari Era VOC

By , Rabu, 11 Februari 2015 | 12:29 WIB

Kecintaan Susilowati pada cagar budaya lambat laun membuat ia jatuh cinta pula pada seni dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18. ”Saya ingin suatu hari Galangan Kapal VOC ini bisa menjadi serambi budaya bagi kesenian, tradisi, dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18,” tuturnya.!break!

Kurang peduliYang masih menjadi kegundahan Susilowati adalah sampai hari ini Pemerintah Kota Jakarta Utara ataupun Pemprov DKI masih kurang peduli terhadap semua usahanya itu.

Sejak galangan kapal menjadi miliknya dan selesai direstorasi, para petinggi DKI Jakarta datang silih berganti mengumbar janji hendak memperbaiki infrastruktur jalan dan penerangan, serta membuat rute kendaraan pariwisata. Mereka juga mengumbar janji membantu meramaikan galangan kapal dengan bermacam kegiatan, serta akan ikut melestarikan cagar budaya tersebut.

Namun, janji tinggal janji. Susilowati harus menanggung perawatan Galangan Kapal VOC miliknya sendirian.

Saat ia merasa ditinggalkan, Susilowati sempat berpikir ingin menjual bangunan bersejarah itu dan bisa beristirahat bersama anak-cucunya. ”Ya buat apa saya setiap tahun harus mengeluarkan PBB senilai Rp 110 juta dan setiap bulan membayar listrik sampai Rp 20 juta kalau kurang bermanfaat bagi publik?”

Ia mengaku tidak memiliki motif ekonomi lagi untuk menghidupkan galangan kapal miliknya. ”Saya sudah tua. Tidak lagi bermimpi banyak soal materi. Yang saya inginkan adalah keramaian budaya di sekitar galangan kapal ini,” ujarnya.

Galangan Kapal VOC tak bisa dipisahkan dengan sejumlah bangunan serta tempat cagar budaya di sekitarnya, yaitu Menara Syahbandar, Pasar Ikan Heksagon, Museum Bahari, serta Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sayang, sampai sekarang lima cagar budaya nan-eksotis dan menyimpan banyak cerita menarik itu, kurang terhubung satu sama lain oleh infrastruktur yang layak. Sepenggal riwayat kota ini telah dilupakan....