Pemuda Putus Sekolah Buat Pesawat di Halaman Rumahnya

By , Jumat, 13 Februari 2015 | 20:07 WIB

George Mel bermimpi untuk terbang sejak kecil. Namun, ketika ayahnya meninggal, ia harus meninggalkan bangku sekolah. Namun, dia menolak putus asa dan mulai merakit pesawat secara otodidak.

“Saya memiliki hasrat untuk menjadi insinyur penerbangan sejak kecil,” kata George Mel, 23 tahun, yang tinggal di Juba, ibu kota Sudan Selatan.

“Ketika masih kecil, saya mencoba untuk terbang. Saya mengambil gorden dan menggunakan batang besi untuk sayapnya dan naik ke atas genteng. Saya ingin tahu apakah saya bisa terbang seperti burung, namun saya jatuh. Saya hampir mematahkan kaki saya.”

Walau demikian, Mel tetap bersemangat untuk belajar sebanyak mungkin mengenai dunia dirgantara. Ia pergi ke Uganda untuk menempuh pendidikan sekolah menengah atas.

Namun, pada 2011, saat ia sedang bersiap-siap untuk menghadapi ujian akhir, ayahnya meninggal. Mel tidak punya pilihan selain meninggalkan bangku sekolah dan pulang ke rumah.

Tak patah arang

Kendati kehilangan ayah dan harus putus sekolah, Mel tidak patah arang. Dia terus mempelajari bidang aeronautika secara otodidak.

“Karena saya berhenti bersekolah, saya mempunyai banyak waktu luang,” katanya.

“Otak saya dibebaskan untuk melakukan banyak penelitian. Saya tidak hanya duduk…saya berpegang pada impian saya dan mulai mencoba mempraktikannya dan banyak membaca.”

Dengan susah payah ia mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun sebuah pesawat terbang, menjelajahi bengkel-bengkel di Juba untuk membuat badan pesawat dari bahan aluminium, dan mengimpor dua mesin bensin kecil untuk memotorinya.

Menggunakan sebuah kursi kebun sebagai kursi pilot, ia membangun sebuah pesawat terbang dari informasi yang diperolehnya dari buku-buku pelajaran dan dari internet.!break!

Pada akhir 2013, Sudan Selatan tenggelam dalam perang saudara. Namun, Mel tetap bekerja membuat pesawatnya di tengah konflik yang makin merambat ke daerah sekitar rumahnya.

Suara baku tembak kerap terdengar dekat rumah Mel.

“Saya tidak menghentikan proyek itu,” katanya. “Saya tetap bekerja di pusat penelitian saya. Saya mengunci diri di dalam dan terus bekerja. Banyak orang meninggalkan tempat ini namun saya tidak pindah. Saya tidak tahu harus kemana. Saya tetap tinggal disini saja dan lanjut bekerja.”