Konflik Tambang di Manggarai, Kekerabatan Komunitas Adat Terkoyak

By , Selasa, 17 Februari 2015 | 21:30 WIB

Beberapa ibu dan lelaki menyambut kami, sore itu, di sebuah halaman luas. Kami dipersilakan masuk ke rumah berdinding bilik dengan ruang tamu berlantai semen. Belasan pria duduk menerima kami.

Mereka adalah kelompok warga yang pro atau setuju dengan kehadiran perusahaan tambang. Hanya 2 kilometer dari situ, tinggal warga penolak tambang.

Berperan sebagai juru bicara, Aloysius Hasan, keponakan Tua Teno Abdul Karim, memborong semua jawaban pertanyaan kami. Mereka semula tinggal di kampung yang sama, Kampung Tumbak, bersama semua warga Tumbak lainnya. Kini, mereka memisahkan diri dan tinggal di Kampung Waso.

"Kami berterima kasih karena ini pertama kalinya kami didengar. Selama ini tidak ada yang mendengarkan keluhan kami," ujar Hasan.

Perpisahan kedua kelompok diwarnai kekerasan, yang menurut Hasan, sebagai upaya membunuh Tua Teno Masyarakat Adat Tumbak, Abdul Karim.

Kelompok ini menerima perusahaan tambang, sedangkan warga yang dipimpin tokoh masyarakat Rikardus Hama berkeras menolak tambang. Kelompok itu tinggal di Kampung Tumbak.

Semua berawal dari kesepakatan memberikan lingko (tanah milik adat) kepada perusahaan tambang PT ABP. Warga pro tambang menerima kompensasi Rp 25 juta per keluarga untuk jangka waktu 30 tahun.

Padahal, menurut Rikardus, kesepakatan hanya menyediakan tanah sepanjang 5 kilometer selebar 16 meter untuk jalan kendaraan perusahaan, dengan kompensasi Rp 3 juta per keluarga untuk 30 tahun. Soal penyerahan lingko untuk aktivitas tambang, Rikardus tidak tahu-menahu.

Hubungan kedua pihak terus memburuk dan, menurut Hasan, berujung adu fisik di rumah gendang—rumah adat warga Manggarai—tempat bermusyawarah seluruh warga adat.

Menurut Rikardus, kelompok pro tambang tak berhak menyerahkan lingko kepada perusahaan tanpa musyawarah dengan seluruh warga.

Sementara Aloysius menegaskan, "Saya hanya pengikut. Tua Teno adalah pemimpin kami. Kalau dia memutuskan itu, saya ikut."

Konflik diperumit dengan kriminalisasi terhadap Rikardus dan Adrianus Rusli, keponakannya. Mereka dinilai mengancam karyawan perusahaan tambang, PT ABP.

Perkara itu dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang lalu merekomendasikan agar PT ABP meninggalkan lokasi.

Menurut Yohana, ketua koperasi perempuan penenun Kampung Tumbak, satu orang perempuan dari kelompok pro tambang sudah bergabung dengan mereka.

Pada 17 Maret 2010, Rikardus dan warga penolak tambang pernah menanyakan izin usaha pertambangan di lingko mereka. Bupati dan Wakil Bupati mengatakan, tanah ulayat warga Tumbak tidak masuk wilayah pertambangan.

Foto hamparan sawah di Lao-Ruteng Manggarai Flores. Tanah yang dibagi menyerupai sarang laba-laba (lingko/lodok, dalam bahasa lokal) yang merupakan simbol langit dan Bumi dalam budaya masyarakat Manggarai. Simbol ini melambangkan persatuan, kesatuan, dan keharmonisan dalam masyarakat. (Leonardus Nyoman/Fotokita.net)

Namun, yang terjadi di lapangan sebaliknya. Perusahaan terus-menerus berusaha menguasai lingko warga. Ketika warga akhirnya menduduki lokasi, terjadilah kriminalisasi.

Di Satar Teu, empat warga, yaitu Klemens Mon, Peter Ladas, Fransiskus Brahi, dan Herman Lau, yang masih menolak kehadiran PT AM tak lagi diajak musyawarah di rumah gendang.

Padahal, di kampung itu rumah warga berdekatan. Mereka satu keturunan garis ayah. !break!

Menghadapi perusahaan

Kasus Tumbak dan Satar Teu hanya sepotong potret praktik tambang di tanah Manggarai (Congka Sae). Warga harus berhadapan dengan perusahaan. Sendirian.

Aloysius Hasan mengatakan, "Kami terus dikejar-kejar pihak perusahaan. Saya tidak mau repot, ya, akhirnya kami terima."

Ia mengatakan, masyarakat memberi banyak syarat kepada perusahaan, di antaranya untuk menjaga lingkungan dan mengamankan sawah. Jika perusahaan melanggar syarat-syarat tersebut, mereka bersedia angkat kaki.

Menurut Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia Peter Aman OFM, "Masyarakat hampir tidak memiliki referensi historis berhadapan dengan korporasi. Mereka tidak punya pengalaman cukup dan pengetahuan cukup."

Sementara itu, budayawan Antony Bagul menilai pemerintah tidak menjalankan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator untuk kepentingan masyarakat.

Menurut Koordinator Advokasi JPIC-OFM Indonesia, yang juga Koordinator JPIC Asia dan Oceania, Mikael Peruhe OFM, "Sosialisasi itu berlangsung cepat, manis, dan tekanan tinggi. Kalau aparat datang, itu tekanannya tinggi." Seperti kata Rikardus, perusahaan selalu datang dikawal aparat keamanan.!break!

Kewajiban pemerintah

Mengenai konflik di masyarakat, Bupati Manggarai Christian Rotok mengatakan, "Mereka yang keberatan itu yang sudah habis uangnya. Sebelumnya, juga mau terima."

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, kewajiban pemerintah di antaranya adalah melakukan penyelesaian konflik dan pengawasan usaha pertambangan.

Peter Aman mempertanyakan, "Sudahkah pemerintah melakukan pengawasan, dan turut membantu menyelesaikan konflik yang ada?"

Atas fenomena di Manggarai tersebut, anggota Komnas HAM, Sandra Moniaga, mengatakan, "Yang terjadi di Manggarai adalah potret akan apa yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia."

Bagi masyarakat Manggarai, konflik tersebut telah mengoyak relasi gendang-lingko.

"Persepsi atas ruang yang sakral menjadi rusak," ujar Peter.