Dilema Pelabuhan Cilamaya di Mata Nelayan

By , Kamis, 19 Februari 2015 | 14:30 WIB

Suhaeri meneropong anjungan minyak Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java. Anjungan itu terlihat mungil dan kabur dari pantai Tanjung Baru—sebelah timur Ciparagejaya. 

Hanya kobaran api dari cerobong anjungan yang nampak menonjol. 

"Di bawahnya itu, pipa-pipa minyak seperti bakmi," jelas Suhaeri, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Mina Jaladri Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat. Perairan pantai utara Karawang seakan telah dipagari oleh anjungan-anjungan minyak dan gas. 

Anjungan minyak lepas pantai itu nampak dikitari anjungan kecil-kecil yang berupa sumur minyak dan gas. Dari sumur-sumur kecil membentang rangkaian pipa ke anjungan utama, yang didiami kru eksplorasi. Seluruh anjungan atau platform minyak itu dihubungkan oleh pipa-pipa di bawah laut yang berkelindan ruwet, saling menopang satu sama lain. 

Seluruh produksi minyak dialirkan ke FSO (Floating Storage and Offloading) Arjuna—fasilitas terapung penyimpan minyak, lalu dengan kapal didistribusikan untuk memasok bahan bakar minyak nasional. 

Produksi minyak PT Pertamina Hulu Energi di Laut Jawa bagian barat ini sekitar 40.000 ribu barel per hari. Saat diakuisisi oleh Pertamina Hulu Energi dari British Petroleum pada 2009, produksi minyak hanya 20.000 barel per hari. Kini, naik hingga 40.000 barel per hari. Atau meningkat 100 persen. Raihan tersebut adalah prestasi besar dengan sumberdaya putra-putra asli Indonesia. 

Dari blok ini, Pertamina Hulu Energi juga menghasilkan gas sampai 190 mmscfd. Sekitar 100 mmscfd di antaranya untuk menghidupkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Muara Karang dan Tanjung Priok, yang mengaliri setrum daerah ring satu Jakarta, termasuk Istana Negara. Gas dari blok ini juga untuk memasok energi buat pabrik pupuk Kujang di Jawa Barat. 

Nelayan di Desa Pasirputih, di pesisir Karawang, Jawa Barat menggantungkan hidup mereka pada rajungan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

!break!

Pemilihan lokasi pelabuhan Cilamaya, yang dikatakan juga menimbang aspek kebijakan, semestinya juga telah memperhatikan keberadaan objek vital nasional ini. Dalam Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004, objek vital nasional merupakan kawasan, bangunan, dan usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersifat strategis bagi negara. 

Dengan begitu, perlu dijaga dan diamankan dari setiap usaha, dari dalam maupun luar negeri, yang berpotensi membahayakan fungsinya. 

Blok lepas pantai yang membentang 8.284 kilometer persegi ini adalah daerah terlarang bagi pelayaran kapal-kapal besar. Bahkan, kapal nelayan hanya bisa melintas sedekat 500 meter. 

Sirat, nelayan tradisional dari Muara Pasir Putih, Karawang membelah Laut Jawa yang sedang tenang dengan perahunya. Tiap hari selepas subuh para nelayan tradisional di Pasir Putih berangkat melaut untuk memeriksa jaring penangkap rajungan yang dipasang pada hari sebelumnya. Hasil tangkapan rajungan dijual seharga Rp 50.000/kilogram. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Jalur pelayaran kapal-kapal besar di Cilamaya akan memotong jalur pipa minyak yang berada di bawah laut. Bentangan pipa-pipa minyak mencapai 1.700 kilometer—dua kali panjang Pulau Jawa—dengan delapan jalur pipa besar berukuran 28 inchi. Seluruh rangkaian pipa tersebut tidak terpendam, tapi tergeletak di dasar laut. Risikonya, jika ada kapal besar berlabuh, jangkarnya bisa menyobek pipa. Selanjutnya: minyak muntah di perairan. 

Mungkin ada solusinya: memendam pipa minyak di bawah dasar laut. Namun pendalaman pipa berdampak pada berhentinya operasi sumur-sumur lepas pantai bekas Arco ini. Adanya lintasan kapal-kapal kargo akan memaksa aktivitas produksi minyak dan gas bergeser. Pindah lokasi. Untuk itu, perlu membongkar dan membangun anjungan. Pembangunan satu anjungan minyak lepas pantai biayanya mencapai Rp1 triliun. 

Lantaran berpindah, operasi Pertamina Hulu Energi tentu akan mati total dalam waktu yang cukup lama, sekira enam bulan. Itu berarti, di tengah-tengah defisit minyak nasional, tidak ada produksi 40.000 barel per hari dan tidak ada pasokan gas 190 mmscfd. 

Saat ini kebutuhan bahan bakar minyak nasional nasional mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak Indonesia hanya 827 ribu - 840 ribu barel per hari. Itu artinya, ada defisit sekitar 400 ribu - 500 ribu barel. 

Di samping itu, jika blok ini ditutup, negara berpotensi kehilangan pendapatan US$1,46 miliar atau Rp17,12 triliun. Hitungan ini dengan asumsi produksi minyaknya 40.000 barel per hari dengan harga minyak dunia US$100 per barel.Selama Pertamina Hulu Energi tidak beroperasi, PLTGU Muara Karang juga lumpuh: daerah ring satu Jakarta, termasuk Istana Negara gelap gulita. Pabrik pupuk Kujang juga berhenti berproduksi. 

!break!

Mata rantai dampak pelabuhan Cilamaya rupanya bakal terus berputar. Lumpuhnya PLTG Muara Karang akan menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Jakarta terhenti. Pasokan pupuk Kujang ke petani yang mandek, bakal mempersulit tekad berswasembada beras selama tiga tahun. Lagipula, akses tol dari Klari sampai Tempuran akan merombak lahan sawah di Karawang seluas 30-60 hektare. 

Dilema dan perdebatan ihwal pelabuhan Cilamaya telah mengaburkan fakta penting: blok Offshore North West Java telah menyediakan minyak di depan mata pada saat negeri ini kesulitan mencarinya. Ibaratnya: air di tempayan dibuang, mengharap hujan dari langit.