Kisah Rokok Tembakau Tiba di Nusantara dan Peleburannya dengan Rempah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 5 November 2021 | 16:00 WIB
Potret 1954, para perempuan menyortir daun tembakau di perkebunan tembakau Tandjong Morawa di Serdang, Sumatera Timur. (Wikimedia Commons)

Tembakau yang langka bagi orang Eropa membuatnya sebagai barang konsumsi untuk masyarakat kalangan atas orang kulit putih. Tanaman itu kemudian ditanam di negara-negara Eropa, seperti Perancis, Portugal, Spanyol, dan Inggris, hingga menjadi gaya hidup di Ottoman Turki.

Sejarawan Belanda Berbard Hubertus Maria Vlekk dalam Nusantara: History of Indonesia menerangkan tembakau diperkenalkan di Asia berkat orang Spanyol yang singgah di Filipna pada abad ke-16. Pelaut Spanyol diperkirakan memperkenalkan tembakau ke Filipina, setelah dibawa dari Mexico dan tiba di Nusantara pada 1575. Kemudian persebarannya kian masif seiring dengan penanamannya di Asia Tenggara.

Sementara Thomas Sunaryo, pengajar tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia merekam bagaimana sejarah tembakau masuk ke Indonesia, dan berkembang menjadi budaya tersendiri melalui bukunya, Kretek, Pusaka Nusantara.

Dia mengungkap bahwa masyarakat Nusantara sudah menghisap rokok, setelah mengadopsi kebiasaan para penjajah. Hal itu terekam dalam laporan utusan VOC tentang Sultan Agung yang menghisap rokok dengan pipa. Kemudian dalam Babad Ing Sangkala juga mengisahkan para bangsawan Jawa sudah merokok tembakau pada masa pemerintahan Senopati di Kesultanan Mataram.

Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum), bunga dan bijinya, dibatasi oleh enam adegan yang menggambarkan penggunaannya oleh manusia. Litograf berwarna, sekitar 1840. (WELCOME COLLECTION)

"Masyarakat bawah dan priyayi mengembangkan kebiasaan menhisap rokok dengan mencampurnya dengan beberapa unsur perasa dan aroma lokal yang ada dan sudah lebih tua sejarah penggunaannya seperti misalnya uwur, klembak, menyan hingga cengkeh," tulisnya.

"Hal ini harus dimaknai sebagai awal lahirnya sebuah kebiasaan asli dan baru masyarakat nusantara. Hal ini tidak aneh dikarenakan masyarakat agraris yang sebelah kakinya telah melangkah ke dalam alam industri ini, seperti kita ketahui bersama, masih berada pada masa kesadaran mistis."

Kebiasaan rokok, dupa, menyan, hingga opiuum saat itu menjadi hal yang 'wajib' bagi masyarakat Jawa. Tak heran, sampai sekarang rokok kretek dan minuman favorit seperti kopi dan teh juga digunakan sebagai sesajen untuk mendoakan leluhur.

Meski demikian, Thomas yang mengutip Onghokham dan Budiman juga mengungkap, ternyata suku pegunungan Papua seperti Tapiro telah lama memiliki kebiasaan melinting dan menghisap tembakau asli Papua. Jenisnya pun dekat dengan spesies tembakau asli Australia Nicotiana soavelens, yang perlu diteliti lebih lanjut.

Baca Juga: Sebelum Digemari Pria, Sejarah Industri Rokok Menargetkan Para Wanita

Kepala Desa Colol, Valentinus, membawa hasil panen kopi, sirih pinang dan rokok sebagai syarat Torok Manu. (FERI LATIEF)

Thomas S. Raffles juga merekam kebiasaan orang Jawa yang suka menghisap tembakau karena diperkenalkan orang Belanda pada 1601. Sunaryo memaparkan tahun yang disebutkan Raffles sesuai dengan naskah Babad Ing Sangkala. Penggunaannya juga sudah masif hingga ke wilayah Banten.

"Kecil kemungkinan tembakau yang dikonsumsi didatangkan dari daratan Amerika maupun daratan Eropa, mengingat tembakau sangatlah mahal untuk konsumsi orang Jawa saat itu. Kemungkinan besar tanaman tembakau sudah ditanam di pulau Jawa untuk kebutuhan sendiri," terang Sunaryo.

Terbukti, VOC pada 1650 ternyata telah mengalihfungsikan beberapa kawasan di Nusantara sebagai perkebunan tembakau. Beberapa daerah itu seperti Kedu, Bagtelen, Malang, dan Priangan, yang akhirnya meresap dalam keseharian masyarakat Nusantara.

Ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal pada 1811-1816, kebijakan seluruh tanah jajahan adalah milik kerajaan Inggris berlaku. Isinya, bagi siapapun yang mendiami tanah koloni harus membayar pajak bumi hasil. Kebijakan itu kemudian terwariskan ketika Belanda kembali berkuasa dan berubah menjadi cultuurstelsel pada 1830.

Salah satu turunan peraturan yang menyengsarakan pertani adalah keharusan menanam di sepertiga luas tanahnya dengan tembakau yang bisa diekspor. Perekebunan tembakau akhirnya merebak hingga luar Jawa seperti Ternate, Kepualaun Kei, Makian, Buru, Seram, Ambon, dan Bali, dalam kurun waktu 20 tahun setelah peraturan Cultuurstelsel berlaku.

Baca Juga: Bangun Kesadaran untuk Tangani Sampah Puntung Rokok, Dimulai Dari Mana?