Teknologi Tidak Mampu Gantikan <i>Kemanusiaan</i> Manusia

By , Selasa, 24 Februari 2015 | 07:22 WIB

Teknologi, seberapa pun majunya, tak bisa menggantikan "kemanusiaan" manusia, menurut hemat para pakar penelitian bidang teknologi digital. Salah satu pakar yang mengemukakan hal ini adalah Director of The Intel RealSense Interaction Design Group Rajiv Mongia sebagaimana warta dari laman Intel.com dan computer.howstuffworks.com pada Senin (23/2).

Sebagaimana diketahui, produsen-produsen teknologi digital, termasuk intel, ikut ambil bagian dalam pengembangan teknologi Augmented Reality (AR) yang mendesain pengalaman luar biasa dengan memanfaatkan teknologi, untuk memberikan jangkauan yang lebih luas dari kapasitas manusia. Termasuk, memberikan penglihatan kepada mereka yang tidak bisa melihat.

Banyak perangkat-perangkat baru yang mempermudah cara untuk memperbaiki realitas, untuk membuat hidup menjadi lebih mudah. Word Lens, yang baru-baru ini diakuisisi oleh Google Translate, bisa menerjemahkan rambu-rambu atau menu restoran ke semua bahasa. Aplikasi lain, Sky Map, bisa membantu mengidentifikasi bintang dan planet di langit malam. Di London, teknologi AR interaktif memberi petunjuk kepada para pengunjung untuk membantu menggali lebih pada pameran-pameran di museum.

Rajiv Mongia memang sedang merealisasikan bagaimana teknologi AR dapat memperluas persepsi dan bekerja sama baik dengan lingkungan fisik di sekitar kita. Mongia dan timnya sedang mengembangkan sebuah prototipe yang memiliki potensi untuk membantu tunanetra dan orang dengan gangguan penglihatan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik dari lingkungan sekitar.

Sistem ini, menggunakan teknologi kamera 3D dan sensor-sensor getar (vibrating sensors) yang terintegrasi ke dalam pakaian. Prototipe ini bekerja dengan melihat infomasi terdalam untuk merasakan lingkungan sekitar pengguna. Umpan balik (feedback) dikirim ke penggunanya melalui teknologi haptic menggunakan getaran motorik pada tubuh untuk memberikan umpan balik. Mongia membandingkan hal ini dengan mode vibrasi pada perangkat ponsel pintar.

"Saat ini intensitas sentuhan adalah proporsional dengan seberapa dekat objek tersebut dengan penggunanya", kata Mongia.

"Jadi jika objek sangat dekat dengan pengguna, getaran akan lebih kuat. Namun apabila objeknya jauh dari pengguna, getaran akan lebih lemah," tuturnya.

!break!

Kerusakan retina

Darryl Adams, Technical Project Manager di Intel, yang didiagnosa menderita Retinitis pigmentosa (penyakit mata yang mengakibatkan kerusakan retina), 30 tahun lalu, telah menguji teknologi yang bisa dikenakan pada tubuh manusia (wearable) tersebut. Adams menyatakan teknologi ini memungkinkan dia untuk memvisualisasikan mimpinya dengan menambah penglihatannya melalui sensasi sentuhan. "Bagi saya, ada nilai yang luar biasa dalam kemampuan untuk mengenali ketika terjadi perubahan di sekeliling saya", kata Adams.

"Kalau saya sedang berdiri dan merasakan ada getaran, seketika itu saya mampu mengubah arah pada yang lebih tepat untuk melihat apa yang telah berubah. Biasanya hal ini akan terjadi apabila ada seseorang yang mendekat, sehingga saya bisa menyapanya, atau paling tidak saya bisa mengetahui kalau mereka ada," tuturnya.

"Tanpa teknologi ini, saya akan kehilangan jika ada perubahan di sekitar saya sehingga sering membuat jadi sedikit canggung," katanya.

Mongia mengatakan timnya sedang mengeksplorasi membuat teknologi yang pas karena belum tentu satu ukuran cocok untuk semua. Sistem ini diuji pada tiga pemakai, masing-masing dengan kebutuhan dan tingkat penglihatan yang sangat berbeda, mulai dari masalah penglihatan paling rendah sampai kepada pemakai yang sepenuhnya buta. "Saya pikir ini akan menjadi suatu sistem yang beradaptasi dengan penggunanya atau disesuaikan kepada setiap individu penggunanya untuk memenuhi kebutuhan tertentu mereka masing-masing," kata Mongia.

OrCam adalah perangkat lainnya yang dirancang untuk tunanetra. Perangkat ini menggunakan mesin pembelajaran (machine learning), suatu bentuk kecerdasan buatan, untuk membantu pengguna berinteraksi dengan lingkungan mereka. Alat tersebut dapat membaca teks dan mengenali hal-hal seperti produk, uang kertas, dan lampu lalu lintas.

OrCam melekat pada salah satu sisi di samping kacamata. Di bagian depan terdapat kamera yang secara kontinyu memindai bidang pandang penggunanya. Di bagian belakang kamera terdapat tulang kondusi yang mengirimkan suara kepada pemakai. Kamera ini terhubung dengan unit pemroses kecil yang bisa disimpan di saku penggunanya. Dengan OrCam, pengguna mengarahkan perangkat pada apa yang ingin dilihatnya. "Arahkan pada sebuah buku, perangkat ini akan membacanya," kata Yonatan Wexle head of Research and Development at OrCam.

"Pindahkan jari pada tagihan telepon anda, dan perangkat ini akan membaca tagihan telepon untuk siapa dan mengetahui berapa nilai tagihannya," imbuhnya.

Wexler menambahkan, "Tidak perlu mengarahkan perangkat ini untuk mengidentifikasi orang dan wajahnya."

"Perangkat ini akan memberitahu ketika salah seorang teman mendekati Anda. Hanya butuh waktu sekitar 10 detik untuk mengajar perangkat ini bisa mengenali seseorang", katanya.

"Yang perlu dilakukan hanyalah orang tersebut harus melihat ke arah pengguna dan menyebutkan nama mereka," tuturnya.

Wexler mengatakan untuk mengajarkan sistem perangkat ini membaca, telah berulang kali ditunjukkan jutaan contoh. Sehingga, algoritma bisa fokus pada pola yang relevan dan dapat diandalkan.

Pada era teknologi yang semakin maju ini, yang perlu dipastikan adalah bahwa perkembangan teknologi seperti AR ini tidak menggantikan "kemanusiaan" seseorang. "Saya pikir hal yang kita selalu perlu ingat adalah bahwa ini bukan tentang menggantikan apa yang manusia lakukan," kata Mongia.

"Apa yang seharusnya kita perlu fokus pada suatu hal yang manusia mungkin berfikir tidak bisa melakukannya dengan baik," demikian Mongia.