Bisakah Perdagangan Ilegal Cula Badak Dihentikan?

By , Sabtu, 7 Maret 2015 | 17:15 WIB

Perdagangan cula badak global yang terjadi sejak awal abad ke-20 hingga kini masih terus marak. Harga jual cula badak secara global dipercaya menjadi penyebab kemerosotan spesies badak di seluruh dunia. Jaringan global telah menjadi suatu modus kejahatan terorganisir dan sulit dilacak.

Akibatnya, dari lima jenis badak di dunia dikategorikan dalam kondisi terancam punah oleh IUCN/ SSC-Rhino. Lima jenis badak itu adalah tiga di Asia (Rhinoceros sondaicus, Rhinoceros unicornis dan Dicerorhinus sumatrensis) dan dua di Afrika (Ceratotherium simum dan Diceros bicornis).

Secara terminologi pengobatan Tiongkok, cula badak Asia dianggap sebagai cula api (berenergi panas) yang berharga lebih tinggi dibanding cula badak Afrika yang bersifat sebagai cula air (berenergi dingin). Dalam sistem pengobatan tradisional Tiongkok, cula badak disugestikan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Cula badak juga dipercaya sebagai obat aphrodisiac untuk membangkitkan gairah bercinta. Padahal secara kimiawi, cula badak tersusun dari keratin yang tidak berbeda dengan unsur penyusun rambut dan kuku manusia. Di Timur Tengah, seperti Yaman, cula badak digunakan sebagai aksesoris gagang pisau yang menunjukkan prestise pemiliknya.

!break!

Merosotnya populasi badak dunia akibat perburuan

Di Afrika, badak putih (Ceratotherium simum) dan badak hitam (Dicero bicornis) populasinya menurun lebih dari 50 persen karena perburuan yang terus menerus. Setidaknya lebih dari 5000 individu badak diburu antara tahun 2003 hingg 2013.

Kedua jenis badak tersebut hidup berkelompok di habitat terbuka seperti padang rumput dan semak belukar sehingga sangat mudah dijadikan target perburuan. Kedua jenis badak afrika ini, memiliki dua cula di atas kepala yang ukurannya paling besar dibandingkan dengan jenis badak lainnya di Asia.

Badak sumatra Andatu di Taman Nasional Way Kambas.

Kasus pembantaian badak india (Rhinoceros unicornis) di Assam, India menjadi satu preseden buruk. Pada tahun 2014, hanya dalam waktu 2 jam, 47 individu badak dibunuh dalam suatu perburuan singkat brutal yang disebabkan oleh gejolak politik dan kelengahan pengamanan habitat. Badak ini ukurannya mirip dengan badak jawa, bercula satu dan hidup di padang rumput dan semak belukar yang sangat mudah menjadi incaran pemburu.

Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, sejak tahun 1985 populasi badak di alam telah dilakukan oleh satu peleton tentara. Namun suatu gejolak politik di ibukota Kathmandu yang memerlukan penarikan tentara yang menjaga taman nasional, telah menyebabkan 42 individu badak dibantai oleh pemburu liar, hanya dalam waktu sebulan sejak penarikan pasukan.

Pada akhir 2013, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) telah dinyatakan punah di habitat alaminya, yaitu Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, dan Kerinci Seblat. Perburuan dilakukan dengan menggunakan jerat sling, tumbuk dan senjata api (rakitan dan organik, -jika dilakukan oleh oknum aparat). Padahal sebelumnya jenis badak ini pernah tersebar dari Sungai Mekkong dan Songkoi di Vietnam, Cambodia, Myanmar hingga Thailand.

!break!

Diyakini, perburuan badak sumatera di Gunung Leuser dan beberapa tempat di Kalimantan masih berlangsung. Informasi dari para pemburu liar, selama dekade 2000-2010 lebih dari 50 individu badak sumatera di Bukit Barisan Selatan telah diburu. Para pemburu diindikasikan telah bergeser ke Bukit Barisan Selatan sejak badak di Kerinci Seblat telah punah diburu.

Tahun 1982, seorang teman penulis M. Boang, yang sedang melakukan penelitian orangutan di Tanjung Puting, Kalteng melaporkan adanya penjual obat jalanan di Pangkalan Bun merendam kepala badak sumatera dalam minyak kelapa dalam sebuah tabung yang disugestikan untuk penyembuhan beragam penyakit.

Badak jawa di Ujung Kulon (Dok. KWH)

Pada kurun waktu setengah abad (1925-1975) dua pemburu badak jawa (Rhinoceros sondaicus), Sarman dan Murdja’i mengaku telah memburu lebih dari 50 individu badak. Setelah perburuan dan pengamanan diperketat, sejak 1980 hingga kini populasi badak jawa stabil di Ujung Kulon.

Kembali ke abad-abad yang lalu, Blith (1682) melaporkan sekurang-kurangnya 2500 cula setiap tahunnya diekspor dari Jawa ke Tiongkok. Pemerintah Kolonial Belanda pun tidak lepas dari tanggung jawab atas menghilangnya badak di pulau Jawa. Dalam abad ke-19, saat kebijakan perluasan komoditi seperti teh, karet dan jati dilakukan di Jawa, badak dianggap sebagai hama tanaman pertanian. Pada tahun 1941 (setahun sebelum perang Pasifik), pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan bahwa badak di Jawa dan Sumatera adalah hama perkebunan dan memberi insentif bagi pemburu yang berhasil membunuh badak.

Badak jawa sekarang hanya ditemukan di Ujung Kulon. Sebelumya badak jawa dilaporkan ditemukan di Bukit Siwalik, India (spesimennya sekarang di pajang di Museum Zoologi, Calcuta), di Vietnam (punah di awal abad ke-21). Badak terakhir di Jawa, di luar Ujung Kulon dibunuh pada tahun 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Garut, yang sekarang spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor.