Through the cloud you'll see the blue...
Lantunan suara Sonna Rele menyanyikan "Strong" mengakhiri film Cinderella. Lirik lagu ini mengatakan, hanya dalam dongeng seseorang yang berhati baik dan berani akan mendapati seorang pahlawan melimpahinya dengan cinta nan indah. Namun, kenyataan hidup seperti permainan berbeda. Hanya diri sendiri yang bisa mengubah jalannya nasib.
Mengangkat kembali dongeng Cinderella ke layar lebar untuk audiens hari ini adalah pilihan berisiko bagi Walt Disney Pictures. Kini, penonton tidak ingin lagi melihat perempuan sekadar memimpikan sang pangeran datang menyelamatkan hidupnya.
Namun, sutradara Cinderella, Kenneth Branagh, dan penulis skenarionya, Chris Weitz, justru terkesan menjaga jalan cerita dalam film ini sesuai "pakem" dongeng.
Branagh yang lima kali menjadi nomine penghargaan Oscar—sebagai aktor, penulis skenario, dan sutradara—menggarap film ini sesuai reputasinya: dengan pendekatan teatrikal. Pendekatan ini bisa dirasakan dari penggarapan visual hingga pilihan dialog.
"Bersikaplah berani dan baik hati." Kalimat ini kerap diulang dalam dialog bak menjadi mantra. Di tangan Branagh dan Weitz, Cinderella yang diperankan Lily James dalam film ini sebenarnya menjadi sosok yang lebih matang.
Kebaikan hati bukan ditampilkan sebagai sikap bawaan tanpa pengorbanan. Ketika mendengar kabarnya ayahnya meninggal misalnya, Cinderella dengan tercekat mengatakan pada si petani pembawa kabar, betapa kematian itu menyulitkan sang petani yang bekerja pada ayahnya.
Meski tak ada twist cerita seperti Snow White yang sanggup memimpin pasukan untuk berperang dalam Snow White and the Huntsman, Cinderella membuat "perlawanan". Ia menolak, ketika ibu tirinya yang jahat menawarkan restu bagi Cinderella untuk menikahi sang pangeran dengan imbalan pangeran itu berada di bawah kontrol si ibu tiri.
Di era superhero ini, Cinderella tampaknya berusaha menunjukkan, kebaikan hati dan keberanian adalah kekuatan yang cukup besar untuk membuat seseorang bertahan melalui berbagai kesusahan. Masalahnya, "imbalan" dari kekuatan itu tetaplah seorang pangeran.
Klasik Tiongkok
Situs American Library Association (ALA) punya catatan menarik soal dongeng Cinderella. Dongeng ini rupanya berawal dari daratan Tiongkok. Berakar dari kisah tua di zaman Dinasti Tang pada abad ke-9 atau kisaran tahun 860 Masehi.
Karakter Cinderella dalam dongeng klasik Tiongkok itu adalah Yè Xiàn atau Yeh-Shen. Catatan ini juga mengaitkan latar belakang gagasan soal ukuran kaki Cinderella yang kecil dengan budaya Tiongkok kuno, yaitu membebat kaki perempuan agar berukuran sangat kecil sehingga memenuhi standar estetika kecantikan.
Kisah Cinderella didokumentasikan secara tertulis berdasarkan tulisan Charles Perrault asal Perancis, yaitu Cendrillon (1690). Di daratan Eropa saja setidaknya ada 500 versi kisah Cinderella yang ditemukan. Kisah ini terus berevolusi menjadi beragam versi di berbagai belahan dunia. Cinderella juga menginspirasi banyak film modern dan berbagai kajian akademis.
"Cinderella Complex"
Salah satu kajian psikologi yang cukup populer soal gejala "Cinderella Complex" dikemukakan oleh Colette Dowling melalui buku Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence (1981). Gejala ini adalah sindrom di alam bawah sadar perempuan yang merasa tak mampu mengubah sendiri kondisi buruk yang dihadapinya kecuali dibantu, dilindungi, dan diselamatkan oleh laki-laki. Sindrom ini dibongkar Dowling dari balik gagasan dongeng Cinderella.
Film Cinderella garapan Branagh bisa dianggap meneguhkan pembingkaian perempuan dalam makna yang sudah begitu usang itu. Zaman ketika perempuan harus bersikap serba manis, submisif, inferior, tak berdaya, sehingga suatu saat dapat "dipungut" serta diselamatkan oleh laki-laki agar kehidupannya menjadi lebih baik.
Apakah pesan moral film itu bahwa perempuan harus memiliki keberanian dan kebaikan hati tersampaikan dalam plot cerita? Atau sekadar dinyatakan dalam lirik lagu penutupnya?