Di dekat Swemieh, pesisir Laut Mati, Yordania 31°41'23" LU, 035°34'48" BT
“Kita tidak bisa berjalan ke situ.”
“Tidak bisa? Bagaimana kalau ke sana?”
“Tidak."
“Ke sana?”
“Tidak. Musykela”—masalah.
Pemandu saya Hamoudi Enwaje’ al Bedul sedang memberi pelajaran tentang kebebasan gerak.
Kami terseok-seok ke arah utara di Lembah Laut Mati yang luas, putih, dan kering. Kami menyusuri bahu jalan raya yang ramai: jalan yang dilalui truk-truk kargo besar yang miring akibat membawa berton-ton tomat hasil panen. Jalan itu bagaikan sabuk berjalan dari ter, dibuat untuk mesin, terlalu lurus untuk manusia, dikotori bangkai burung kecil yang tertabrak kaca truk yang melaju.
Bukit pasir warna perunggu di Wadi Araba sudah jauh di belakang kami—pasir lembutnya berganti menjadi kerikil panas. Di belakang kami terdapat jalur unta tua yang berkelok-kelok di Pegunungan Transjordan, berupa tembok batu-pasir merah jambu, puncak-puncaknya tampak biru debu dalam bayangan sore. Di belakang terhampar jalan-jalan pertanian yang sering dilalui pengungsi Suriah, yang bekerja sebagai pemetik sayur untuk konsumsi Amman.
Dan di depan terbentang lorong sempit aspal: jalan truk, cepat, bising, panas, kejam bagi makhluk tanpa kendaraan bermotor. Pengemudi mengklakson kalau bagal beban kami, Selwa dan Mana’, melangkah terlalu masuk ke jalur lalu lintas yang berminyak. Menyusuri jalan ini penderitaan. Neraka. Tetapi, saya tidak berhasil meminta Hamoudi meninggalkannya. Dia tidak mau menjauhi bau merica asap mobil, meski hanya sepuluh meter.
Mengapa?
“Polisi,” katanya serius. Musykela. Masalah.
Hukum Yordania melarang orang berjalan di bawah kabel listrik, kata Hamoudi menjelaskan: Di sepanjang jalan ada kabel listrik. (Benarkah ini? Mengapa? Dia tidak tahu.) Atau gara-gara lumpur: Di sekeliling Laut Mati yang menyusut, tampak bersinar redup di barat, terdapat banyak rawa, pasir apung. Zona terlarang. Berjalan di dekat perbatasan Israel—terlihat samar di kejauhan—juga dilarang. Meskipun kedua negara itu berdamai, area itu tetap menjadi zona keamanan. (Selama berhari-hari kami mendengar bunyi operasi penjinakan ranjau Israel, dentum guntur buatan manusia di kejauhan.)
Saya skeptis. Kesal. Saya curiga Hamoudi hanya ingin cepat-cepat sampai ke Jembatan Raja Hussein, tempat kami akan berpisah, ketika saya akan keluar dari Yordania dan masuk ke Tepi Barat. Tetapi, saya keliru.
Kami mulai sering dihentikan oleh petugas keamanan.
Polisi lalu lintas. Patroli tentara yang naik Land Cruiser yang dipasangi senapan mesin kaliber .50. Bahkan polisi rahasia berpakaian preman, yang ditandai oleh mobil SUV putih berkilat dan potongan rambut rapi. (“Anda perlu lebih sering berjalan kaki,” kata saya. Agen polisi itu memegang perutnya: “Anda benar.”) Saya dan Hamoudi tampak salah tempat di jalan modern ini, dengan bagal gunung bergigi tonggos. Dengan pelana beban yang dijahit dari perca selimut jingga. Dengan syemagh—kain kepala kotor—yang pudar akibat matahari. Dengan poci teh yang mungkin sebenarnya bom.
Bisa saja kami ini sebenarnya penyusup, penyelundup, pencari onar—singkatnya orang nomad, yang selalu dicurigai. Menjelang Amman, ibu kota Yordania, polisi menahan dan menanyai kami enam kali dalam periode 24 jam, sebuah rekor. Ini hampir sebanyak pos keamanan dalam perjalanan 2.200 mil dari Afrika. Jalan ini penjara linier kami. Kami narapidana berjalan. Tiba-tiba di benak saya berkelebat sebuah peta: tempat-tempat saya dihentikan polisi di seluruh dunia. Peta kebebasan gerak.
Tetapi, keadaannya tidak sesederhana itu. Kebebasan gerak berawal di dalam pikiran.
Saat kami meninggalkan alam liar, saya memperhatikan Hamoudi semakin hati-hati, semakin ragu. Dia orang yang supel: pemandu arkeologi terlatih, yang telah mempelajari sejarah panjang Yordania, dan berteman dengan orang dari berbagai bangsa. Dia mendongeng dengan hangat, senang tertawa, tak pernah lelah berjalan, jago bertahan hidup di gurun, orang Badui yang bermartabat. Namun, dia semakin pendiam dengan semakin jauhnya kami dari rumahnya yang indah di pegunungan Petra kuno. Dia orang Bedul: minoritas etnis kecil di Yordania pedesaan yang masih bersuku-suku. Dan jalan raya umum adalah lorong aman—tepatnya, netral—untuk melintasi wilayah Yang Lain: suku-suku yang tidak berkerabat. Jalan beraspal ini mungkin musuh saya. Tetapi, sekutu bagi Hamoudi.
“Saya tahu tempat menginap yang bagus,” katanya setelah menempuh 50 kilometer dalam sehari itu.
Yang dimaksudnya adalah tenda rombeng seorang teman, orang Sayadin, lelaki dari kelompok Badui yang bersahabat dengan suku Bedul. Dia memulung kaleng aluminium dari pinggir jalan raya.
Kami tiba di noktah kecil persahabatan di negeri asing ini saat senja tiba. Istrinya yang cantik dan remaja, terbungkus baju hitam, berhidung elang, bergigi putih berkilap, membawa bagal Selwa and Mana’ ke tempat merumput di gurun. Saya dan Hamoudi menghempaskan diri di kasur usang di dalam tenda. Kelelahan, saya menatap keluar pintu.
Sekumpulan hotel bintang lima tampak berkilauan di pantai Laut Mati di dekat sini. Mungkin di kamar-kamar hotel itu ada orang yang melihat keluar jendela kaca, memegang gelas anggur minibar, memandang gelap yang kian pekat. Mereka orang baik, setidaknya tidak lebih buruk atau lebih baik daripada semua orang lain di jalan menyengsarakan ini. Jika menyipitkan mata, mereka mungkin melihat, pada jarak sekitar 300 meter, kilas cahaya bergoyang dalam kekelaman gurun. Cahaya itu berasal dari dalam sebuah kubus kecil, struktur yang dibungkus plastik koyak, berisi lima orang. Jika memiliki teropong, mereka mungkin melihat gadis remaja Badui, Fatimah, bekerja di depan api, memasak telur dan tomat yang dikumpulkan dari ladang.
Suaminya yang lebih tua, Ali Salam, menghangatkan badan rababa yang terbuat dari kulit kambing, yaitu rebab Badui, di dekat bara. Bayi mereka, dengan kulit berwarna pasir dan berbintul-bintul akibat kudis, terus-menerus batuk di pangkuan saya. Namanya Barakat, yang berarti berkah. Hamoudi berdeham dan mulai menyanyi. Jalan raya malam berdentum di antara kami.