Lembata, Lamalera, dan Perburuan Paus

By , Selasa, 31 Maret 2015 | 15:30 WIB

Saat itu paus akan didekati dan awak perahu terjun ke laut untuk melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu, tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati saat dibawa ke darat.

Selain perburuannya yag menegangkan, pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan pemandangan yang menarik. Pembagian daging paus merupakan tradisi turun-temurun yang ditaati oleh semua orang Lamalera, sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya.

"Masing-masing sudah tahu hak dan pembagiannya," ujar Tony. Pola pembagian ini memang dikhususkan untuk ikan-ikan yang berukuran besar.

Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada aturan pembagiannya. Selain peledang, ada juga perahu perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada sembilan awak perahu dan di perahu motor ada dua awak, mereka semua mendapatkan haknya.

Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan dibagi-bagikan ke awak perahu.

Bagian sirip kanan dan kiri, masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga mendapatkan hak daging paus. "Mama janda pasti mendapatkan hak karena mereka biasanya kasih jagung atau kasih rokok," ungkap Tony.

Perihal perburuan pada satwa yang dilindungi itu, mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan saat jumpa pers Festival Adventure Indonesia 2014 di Jakarta, "Kegiatan perburuan paus dilakukan untuk seluruh rakyat Lembata, bukan secara individual. Kita tidak mengabaikan lingkungan hidup, tapi budaya juga perlu dikembangkan."

Perburuan paus di Desa Lamalera, Lembata, merupakan bagian budaya turun temurun dan dilakukan secara tradisional. Walaupun menuai kritik dari para pemerhati lingkungan, namun budaya ini sah di mata internasional. Perburuan paus tradisional sudah diakui dunia internasional, hanya ada di Kanada dan Indonesia saja.

"Dalam perburuan paus ini, ada seluruh rangkaian budaya dan dimensi sosialitas rakyat Lembata. Menghilangkan budaya ini, sama dengan membunuh seluruh rakyat Lembata," ujar Sonny Keraf.

Menurut Tony, ritual perburuan paus ini memiliki nilai religius di setiap aspeknya. Mulai dari persiapan, pembuatan kapal, pengangkatan layar, sampai pelemparan tombak, semuanya mengucap doa terlebih dahulu.

Menjelang perburuan, diadakan upacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para Arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan Bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa disebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei.

Begitulah, Lamalera memang tidak bisa dipisahkan dari laut dan paus. Alam rupanya juga senantiasa berpihak kepada masyarakat Lamalera dengan mengantarkan paus ke lautan di hadapan tanah air mereka. Sebab setiap tahun, ikan-ikan paus itu bermigrasi antara Samudera Hindia dan Pasifik selama bulan Mei sampai Oktober. Ketika hewan-hewan laut raksasa melewati laut Sawu tepat di depan pintu pulau Lembata itulah, perburuan ikan paus pun dimulai.

Baleo! Baleo!....

——

CATATAN REDAKSI

Foto sebelumnya dalam artikel ini telah kami ganti karena menyangkut pelanggaran Hak Cipta. Kami memohon maaf atas kelalaian tersebut. Penjelasan resmi dari redaksi dapat dibaca di tautan ini.