Suku Sasak dan Tradisi Menenun Kain

By , Senin, 6 April 2015 | 19:30 WIB

Ernawati, penduduk Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, sibuk menyelesaikan sepotong kain tenun motif ikat, pada Kamis (27/03).

 Selama sekitar satu jam dia hanya dapat menyelesaikan tenunan sepanjang kurang dari dua sentimeter.

Erna mengatakan pembuatan kain dengan panjang dua meter dan lebar 75 sentimeter itu membutuhkan waktu sekitar satu bulan.

"Satu bulan baru selesai, ini dikerjakan setiap hari selama delapan jam," jelas Ernawati kepada wartawan BBC, Sri Lestari.

Menurutnya, menenun kain merupakan aktivitas sehari-hari perempuan suku Sasak Lombok selain bertani. Aktivitas itu juga menjadi syarat yang wajib dipenuhi untuk dapat menikah.

"Kalau perempuan di sini belum bisa menenun, mereka belum siap menikah karena harus bikin tiga sarung. Satu untuk diri sendiri, untuk suami dan mertua perempuan. Belajarnya sejak umur 10 tahun, mulai dari kain polos dulu," kata dia.

Ekonomi keluarga

Selain karena tradisi, menurut Ernawati, menenun kain dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kecilnya.

Kain-kain tenun buatan Erna akan dijual melalui koperasi yang beranggotakan 200 orang.

“Nanti kita kasih ke koperasi dan dijual disana. Tetapi yang menenun kan banyak, jadi hasilnya juga dibagi. Ya paling dapat Rp500 ribu sebulan, jadi biar sama-sama senyum gitu,” jelas Erna.

Pengurus koperasi Junaedi mengakui penjualan kain tenun belum dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari para pengrajin.

“Keuntungan relatif dan musiman tergantung pengunjung saja, hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Kami berharap ada pelanggan yang datang ke sini," jelas Junaedi.

Harga kain tenun ditakar sesuai dengan motifnya. Semakin rumit polanya, harganya pun semakin mahal. Selembar kain bermotif rumit, harganya bisa di atas Rp1 juta.