Miranda Smith (28) asyik memotret gugusan bebatuan di tepi jalan berkelok kawasan wisata Tuktuk Siandong, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Lensa kameranya sesekali difokuskan lebih dekat mengabadikan struktur bukit batu berwarna putih dengan sisi-sisi runcing. Di bawah kelokan bukit, muka air Toba jernih memantulkan bayang awan gelap. Mendung tak memupus keelokan danau.
”Saya dengar cerita tentang keindahan Toba sejak remaja. Namun, baru-baru saja tahu keunikan geologinya,” ujar pelancong asal Colorado, Amerika Serikat, itu pada pertengahan Februari 2015, di Samosir.
William Marciell (30), pelancong yang turut dalam rombongan Miranda, mengatakan, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengoleksi foto-foto situs geologi hasil morfologi jutaan hingga puluhan ribu tahun silam itu. Dia bangga bisa menyaksikan ”saksi bisu” kedahsyatan letusan gunung yang memengaruhi kehidupan dunia itu.
”Sejarah letusannya bahkan lebih dahsyat dari supervolcano Yellowstone. Tidak hanya geologinya, kekayaan budaya dan masyarakatnya juga sangat menarik,” kata William.
Salah satu contoh jalinan antara bentang alam dan peradaban manusia di sekitar Toba dapat dipelajari dari struktur bebatuan Kubah Lava Riodasit yang diamati rombongan pelancong asal AS itu. Batuan lava hasil ekstrasi lelehan magma ke permukaan hingga membentuk kubah lava itu ternyata digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyusun Batu Persidangan Makam Raja Siallagan di Samosir.
Bebatuan menjadi elemen sakral bagi masyarakat Toba sejak dahulu. Sutrisno Siallagan, Kepala Desa Siallagan, menuturkan, nenek moyang mereka begitu meluhurkan batu sehingga semua kubur orang terhormat disimpan dalam batu ukir.
Peradaban yang berkembang juga menyesuaikan gejala alam. Menyusuri perkampungan adat di Samosir, masih terlihat rumah-rumah adat Batak kuno terbuat dari kayu, dengan bentuk dinding samping seperti lunas (balok memanjang di dasar perahu) dan ditopang tiang-tiang terikat kuat satu-sama lain. Bangunan diletakkan di atas fondasi batu tanpa semen.
Menurut ahli geologi dari tim Percepatan Geopark Sumatera Utara, Gagarin Sembiring, struktur rumah itu sesuai dengan kondisi geologi Samosir yang rawan bencana gempa bumi tektonik, dan tsunami danau.
Tiga pilar taman bumiDari sudut pandang pariwisata, pertautan unsur alam, manusia, dan budaya dalam satu ekosistem ini menjadi fenomena menarik. Untuk itu, sejak 2012, banyak pihak mendorong agar Danau Toba dimasukkan dalam pengelolaan taman bumi global (global geopark network). Dalam konsep taman bumi manusia diajak menelusuri lorong waktu untuk memahami proses pembentukan bumi dengan terus menjaga warisannya.
Pada 2014, Danau Toba diajukan dalam pengelolaan Taman Bumi Kaldera Toba ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Hasil letusan supervolacano yang terakhir terjadi 74.000 tahun silam ini tak sekadar menyimpan warisan kebumian yang berharga, tetapi memuat pula peradaban dengan keragaman budaya yang berorientasi pada bentang alamnya.
Pengajuan ke UNESCO ini setelah pemerintah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan kawasan ini sebagai Taman Bumi Kaldera Toba. Di Indonesia, hanya kawasan Gunung Batur di Bali yang sudah terdaftar dalam jaringan taman bumi global. UNESCO akan mengambil keputusan untuk Taman Bumi Kaldera Toba pada September 2015 seusai pengecekan lapangan.
Pemerintah Provinsi Sumut pun telah membentuk tim Percepatan Taman Bumi Kaldera Toba. Selain unsur pemerintah, dalam tim itu ada ahli geologi, akademisi, budayawan, dan perwakilan tujuh kepala daerah yang berada pada garis batas (deliniasi) kawasan Kaldera Toba. Tujuh daerah itu adalah Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, Karo, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, dan Tapanuli Utara.
Lalu, konsep macam apa yang disusun melalui peta jalan (roadmap) Taman Bumi Toba? Ketua Tim Percepatan Geopark Kaldera Toba, Sabrina, kepada Kompas, mengatakan, lewat pengembangan geopark, nilai ekonomi di masyarakat akan ditingkatkan, selaras kegiatan konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan berkelanjutan dalam kawasan. ”Geopark adalah bentuk apresiasi pada semua nilai dan makna keunikan, kelangkaan, dan estetika warisan geologi. Di dalamnya terdapat keragaman geologi, keragaman biologi, dan keragaman budaya,” kata Sabrina yang juga menjabat Pelaksana harian Sekretaris Daerah Provinsi Sumut.
Harmoni antarelemen ini ditopang pembangunan berkelanjutan yang memungkinkan masyarakat merasakan manfaat pengembangan taman bumi. Konsep ini berbeda dari pengelolaan warisan budaya yang semata berkiblat pada konservasi.
Artinya, kata Sabrina, semua program pendukung pengembangan taman bumi harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Apalagi, dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014, areal Danau Toba ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional. ”Muaranya pariwisata, tetapi berbasis konservasi ekosistem,” ujarnya.
Dalam peta jalan pengembangan Taman Bumi Kaldera Toba, kawasan deliniasi dibagi menjadi empat geoarea. Pembagian ini mengacu pendekatan teknis pusat-pusat letusan atau evolusi letusan pembentuk kaldera Toba sesuai penelitian Chesner dan Rose yang dipublikasikan pada 1991.
Empat geoarea itu adalah Kaldera Porsea, Kaldera Haranggaol, Kaldera Sibandang, dan up doming (pengangkatan) Samosir. Setiap geoarea mencakup sejumlah situs sejarah alam (geosite) yang sejauh ini tercatat sebanyak 55 tempat.
Pemprov Sumut juga membentuk badan khusus pengelola Taman Bumi Kaldera Toba. Badan pengelola ini nanti akan berstatus independen dengan pengawasan dari pemerintah daerah. ”Pengesahannya tinggal menunggu surat keputusan gubernur,” ujar Sabrina.
Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah juga didorong bersinergi menggulirkan program mendukung konservasi dan pemberdayaan pariwisata di sekitar Toba. Dalam konsep geowisata, pemasaran pariwisata taman bumi juga didukung daerah-daerah di sekitarnya. Untuk itu, seluruh kawasan yang terkoneksi dibagi dalam empat zona, yaitu zona tangkapan, penerima, pendukung, inti, dan pelindung.
Zona tangkapan terdiri dari Bandara Kualanamu dan Silangit di Tapanuli Utara. Zona penerima merupakan kota-kota tujuan wisatawan seperti Medan, Berastagi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Porsea Siborong-borong, dan Dolok Sanggul. Zona pendukung seperti Parapat, Haranggaol, Tongging, Pangururan, dan Tomok. Zona inti adalah empat geoarea, sedangkan zona lindung adalah hutan lindung di sekitar Toba.
Penggiat taman bumi Toba yang juga mantan Bupati Tapanuli Utara, RE Nainggolan, mengingatkan, keterlibatan masyarakat menjadi kunci pengembangan taman bumi. Kekayaan seni dan budaya yang berkembang di masyarakat sekitar Toba harus terus dilestarikan sehingga menjadi etalase pariwisata yang menarik. Pemerintah bersama masyarakat mesti meningkatkan pelayanan wisata.