Film Indonesia dan Nasionalisme Kemenyan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 22 April 2015 | 19:45 WIB
Dalam kecamuk perang gerilya, Kapten Sudarto dikisahkan telah jatuh cinta kepada dua gadis selama perjalanan nan panjang ini: seorang gadis asal Jerman dan seorang gadis juru rawat. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

“Kulihat prajurit TNI, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, karena tak ada nasi,” senandung seorang pejuang dalam sinema Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 1950. Usia telah melunturkan gambar dan suara film itu, namun pesan cerita dan gagasannya masih menjadi wacana hingga hari ini.    

Darah dan Doa berkisah tentang situasi hijrahnya Tentara Nasional Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada awal 1949 setelah rentetan penyerangan Belanda dalam Aksi Polisional. Para prajurit Divisi Siliwangi beserta keluarga mereka menyusuri perjalanan nan panjang dalam medan berat. Kekurangan pangan dan cidera merupakan keniscayaan dan sekaligus ancaman bagi mereka. 

Film Darah dan Doa Film ini didanai seratus persen dari modal milik orang Indonesia—berbeda dengan film-film sebelumnya. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

“Ini menarik karena saat itu film masih menjadi bagian percakapan intelektual,” kata Hikmat. “Dan, film ini dibuat sebagai kesadaran bercakap tentang apa ini bangsa di masa bayinya.”

Meskipun tidak terlalu laku di pasaran, film ini diklaim sebagai film pertama Indonesia. Bahkan pengambilan gambar pertamanya pada 30 Maret 1950 telah diperingati sebagai Hari Film Nasional. Namun, belakangan timbul kontroversi karena sebagian pihak mempertanyakan ketepatan historisnya.

Pada 20 April 2015, film legendaris ini ditayangkan kembali di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, dalam suasan acara mengenang 100 hari wafatnya Sitor Situmorang. Sebuah diskusi bertajuk “Jejak Sitor Situmorang dalam Film Nasional” digelar bersama narasumber JJ Rizal, sejarawan, dan dimoderatori oleh Hikmat Darmawan, pengamat film dan komik. Sitor dikenal sebagai seorang wartawan, sastrawan, penyair, dan kritikus film. Namun, sedikit orang yang mengetahui bahwa Sitor turut menginspirasi film nasional.

Meskipun tidak terlalu laku di pasaran, film ini diklaim sebagai film pertama Indonesia. Bahkan pengambilan gambar pertamanya pada 30 Maret 1950 telah diperingati sebagai Hari Film Nasional. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Dalam pengantar diskusi, Hikmat mengatakan bahwa saat itu telah muncul kesadaran untuk membicarakan persoalan Indonesia terkini. “Ini menarik karena saat itu film masih menjadi bagian percakapan intelektual,” kata Hikmat. “Dan, film ini dibuat sebagai kesadaran bercakap tentang apa ini bangsa di masa bayinya.”

“Ini film yang menurut saya nekat pada zamannya,” ujar Rizal. “Tetapi juga film yang sangat luar biasa karena berani-beraninya mempertanyakan sejarah yang belum selesai di umur Republik yang masih sangat muda.”

Akibatnya, film ini sempat menimbulkan polemik besar ketika pertama kali beredar. Polemik tersebut berkisar pertanyaan apakah semua orang Darul Islam—seperti aksi yang ditampilkan dalam film—adalah orang yang murtad dari Republik? Apakah Divisi Siliwangi merupakan satu-satunya yang terhebat? Juga, sosok Kapten Sudarto yang tidak tampak sebagai seorang pahlawan, bahkan terkesan lembek dan melankolis dalam hal perempuan.

Film Darah dan Doa karya Usmar ISmail pada 1950. Film ini berkisah tentang situasi hijrahnya Tentara Nasional Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada awal 1949 setelah rentetan penyerangan Belanda dalam Aksi Polisional. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)