Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 10 November 2021 | 10:00 WIB
Granat senapan yang ditemukan di area Benteng Kedungcowek, Surabaya. (Ahmad Zaki Yamani/Roode Brug Soerabaia)

Selain menemukan granat aktif, mereka juga menemukan ratusan peluru. Baik selongsong peluru yang sudah kosong, maupun yang masih utuh. Semua peluru dan granat tersebut sudah dalam kondisi berkarat.

Ady Setyawan, pegiat sejarah pertempuran sekaligus pendiri Komunitas Roode Brug Soerabaia, mengatakan bahwa Benteng Kedungcowek adalah situs pertempuran. "Jadi, kalau mau disusuri, mungkin ada ribuan peluru yang bakal ditemukan di sana," ujar Ady kepada National Geographic Indonesia.

Ady juga memiliki lembar cetak biru (blue print) dan catatan dari sejumlah surat kabar yang diperoleh dari Belanda tentang proyek pembangunan Benteng Kedungcowek. Ternyata, berdasarkan cetak birunya dan juga pemberitaan sejumlah surat kabar, benteng ini dibangun pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

Ilustrasi penggunaan granat senapan M9. (US Army/Wikimedia Commons)

Granat, sebagai benda eksplosif, harus dianggap granat yang masih aktif sebagai prosedur kewaspadaan. (Ahmad Zaki Yamani/Roode Brug Soerabaia)

Pada 30 April 1900, cetak biru pembangunan Benteng Kedungcowek ditandatangani oleh De Kapitein der Genie di Batavia. Benteng tersebut dinamakan sebagai "Kustbatterij Kedoeng-Tjowek" atau baterai pesisir Kedungcowek yang merupakan satu dari rangkaian pertahanan pantai di Surabaya. Adapun baterai adalah kesatuan yang terdiri atas beberapa meriam besar dan tentara yang bertugas.

Sebelumnya, surat kabar De Locomotief pada 30 Maret 1900 melaporkan penunjukkan Kapten Zeni Proper sebagai penanggung jawab pembangunan benteng tersebut. Kemudian, secara berkala, beberapa surat kabar lainnya juga kerap memberitakan perkembangan pembangunan benteng itu.

Pada 29 November 1901, De Sumatra Post melaporkan bahwa Kustbatterij Kedoeng-Tjowek sudah mulai tampak bentuknya. Baterai pantai Kedung Cowek diperkirakan selesai bulan Februari dan dana sebesar lima juta gulden disiapkan untuk pengadaan meriam-meriam artileri.

Baca Juga: Selidik Gedung Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual

Benteng Kedungcowek memiliki bangunan yang memanjang dan terpisah-pisah. (Nanang Purwono & Ahmad Zaki Yamani/Roode Brug Soerabaia)

Kemudian, arsip surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad pada 15 Juli 1902, menuliskan: "Hari ini tiga meriam pantai berkaliber 150 milimeter diturunkan dan dipasang di baterai pesisir Kedungcowek."

Pemugaran Benteng Kedungcowek dengan konstruksi beton kemudian dimulai pada akhir 1903, sebagaimana diberitakan oleh surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad. Alasannya, konstruksi lamanya kurang kuat untuk menahan serangan artileri laut paling baru. Benteng ini dipugar sebagian sehingga masih menyisakan sebagian konstruksi lamanya.

Dahulu, Belanda pernah membangun sejumlah benteng atau baterai pesisir sebagai sistem pertahanan di sepanjang pantai Surabaya. Namun, benteng yang berlokasi di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, itu adalah satu-satunya benteng buatan Belanda yang kini masih tersisa di Surabaya. Benteng-benteng Belanda lainnya sudah hancur lebur.

Benteng ini juga sempat menjadi tempat pertempuran 10 November 1945 antara bangsa Indonesia melawan Inggris dari Sekutu yang hendak menguasai Indonesia kembali. "Inggris pun memasukkan ke dalam arsip mereka tentang pertempuran yang dahsyat di benteng itu," kata Ady.

Baca Juga: Piet Voorn, Pemilik Studio Fotax yang Membekukan Masa Lalu Surabaya

Kondisi Benteng Kedungcowek di Surabaya. (Nanang Purwono & Ahmad Zaki Yamani/Roode Brug Soerabaia)

Ady dan rekan-rekannya dari Roode Brug Soerabaia menyayangkan kondisi Benteng Kendungcowek kini tampak terbengkalai begitu saja, tidak terawat. Padahal benteng itu sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Surabaya karena menyimpan nilai sejarah nasional yang besar.

"Nilai sejarah benteng ini sangat tinggi, bukan hanya sejarah nasional Indonesia. Setidaknya ada tiga atau empat bangsa yang terlibat dengan benteng itu. Belanda sebagai pembangun. Kemudian Jepang juga sempat menduduki benteng itu. Bangsa kita Indonesia jelas menggunakannya untuk berperang. Dan yang keempat adalah Inggris sebagai pihak yang menyerbu," papar Ady yang memiliki catatan-catatan dari Jepang dan Belanda terkait benteng tersebut.

Benteng Kedungcowek kini dimiliki oleh TNI Angkatan Darat. Maka pihak TNI AD secara otomatis berkewajiban merawat dan melestarikan bangunan cagar budaya ini.

Namun begitu, Ady berharap pemerintah Kota Surabaya dapat memanfaatkan benteng ini menjadi museum sekaligus tempat wisata edukasi sejarah agar lebih terawat dan telestarikan. Sebab, ia mengaku pernah mendengar bahwa pihak TNI AD di Surabaya pun telah terbuka terhadap pemerintah Kota Surabaya bila ingin memanfaatkan bangunan ini.

Baca Juga: Upaya Para Arkeolog Menjaga Kelestarian Cagar Budaya Indonesia

Temuan peluru utuh di area Benteng Kedungcowek. (US Army/Wikimedia Commons)

"Bagian dalam benteng ini adalah lorong yang memanjang," tutur Ady. "Lorong yang memanjang ini menarik karena berarti kita sudah punya ruangan. Dan dengan lorong yang memanjang, tempat ini bisa dibuatkan narasi sejarah berdasarkan timeline. Mulai dari sejarah pembuatannya oleh Belanda, lalu masa kependudukan Jepang, dan terus masuk ke masa Perang Kemerdekaan."

Ady mencontohkan Benteng Labrador yang berada di pesisir Singapura. "Benteng itu sezaman dengan Benteng Kedungcowek dan baru dapat perhatian (dari pemerintah setempat) tahun 1950-an. Sekarang bentengnya jadi museum dan tempat wisata yang sangat menarik," ujarnya.

Retno Hastijanti, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya, mengucapkan terima kasih kepada komunitas Roode Brug Soerabaia karena telah memberikan perhatian terhadap Benteng Kedungcowek. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa Benteng Kedungcowek memang layak menyandang status sebagai cagar budaya.

"Hal ini menunjukkan bahwa ada rasa kepemilikan bersama dari publik Surabaya terhadap benteng ini," ujar Hasti, sapaan akrab perempuan ini.

Baca Juga: Menelusuri dan Meluruskan Sejarah dari Istilah 'Jancok' di Surabaya

Terkait anggapan bahwa kondisi benteng itu tampak terbengkalai, Hasti mengatakan komunitas Roode Brug Soerabaia perlu berdialog dengan pihak TNI AD. Ia menegaskan bahwa pihak TNI AD lah yang berkewajiban merawat bangunan itu selaku pemiliknya. Dan tim pemantau dari pemerintah Kota Surabaya lah yang bertugas mengawasi kondisi bangungan-bangunan cagar budaya di Surabaya.

"Tim TACB Surabaya hanya membantu memeriksa apakah bangunan tertentu layak diberi status sebagai cagar budaya," kata Hasti.

Hasti membenarkan bahwa Benteng Kedungcowek memiliki nilai sejarah yang besar. Salah satu pertimbangan utama benteng itu bisa menyandang status cagar budaya sejak 2020 lalu adalah karena sifat kelangkaannya. Benteng ini satu-satunya benteng dari era Belanda yang tersisa di Surabaya.

Selain itu, kata Hasti, pemerintah Kota Surabaya juga memiliki proritas untuk menjadikan bangunan-bangunan "yang terkait dengan Peristiwa 10 November" sebagai cagar budaya. Area benteng ini menjadi salah satu basis pertempuran 10 November 1945 yang meletus di Surabaya.

Benteng Modern Pertama di Surabaya, artikel pendek di National Geographic Indonesia edisi September 2019. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Rencana pembangunan baterai pesisir Kedungcowek, yang disetujui pada 1901. (Nationaal Archief Den Haag)

Penampang melintang konstruksi baterai pesisir Kedungcowek di Surabaya. (Nationaal Archief, Den Haag)

Kini, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Dan, Surabaya dijuluki sebagai Kota Pahlawan.

Namun, menurut Ady, pemerintah Kota Surabaya kurang bisa menghormati para pahlawan yang dulu berjuang mempertahankan kota ini. Berdasarkan catatan sejarah yang ia punya, setidaknya ada sepertiga Batalion Sriwijaya (pasukan Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam barisan Heiho) yang gugur dalam pertempuran 10 November melawan Sekutu (dalam hal ini adalah pasukan Inggris) di Benteng Kedungcowek.

"Satu batalion itu sekitar 600 orang. Jadi setidaknya ada 200 orang yang gugur tanpa nama dan tanpa nisan di sana," urai Ady. Maka, menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membalas jasa para pejuang Surabaya itu adalah dengan melestarikan Benteng Kedungcokwek sebagai saksi perjuangan mereka.

Baca Juga: Nasib Penerbang RAF yang Pesawatnya Tertembak Jatuh di Surabaya

Komunitas Roode Brug Soerabaia yang melakukan kegiatan bersih-bersih di area Benteng Kedungcowek. (Ahmad Zaki Yamani/Roode Brug Soerabaia)

"Orang-orang tuh selalu menggembar-gemborkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Tapi terus apa yang bisa kita lakukan untuk menjaganya? Ruh Surabaya sebagai Kota Pahlawan makin lama makin menguat atau makin memudar? Saya yakin orang-orang sini semuanya pasti bilangnya makin memudar. Karena perhatian pemerintah ke arah situ minim sekali," ujar Ady.

"Kita kehilangan terus tempat-tempat bersejarah di Surabaya. Yang paling baru, Rumah Radio Bung Tomo kini sudah rata dengan tanah," beber Ady.

Rumah Radio Bung Tomo juga merupakan bangunan yang berstatus cagar budaya di Surabaya. Pada 2020 lalu kantor berita ANTARA melaporkan bahwa pemilik dan penanggung jawab pembongkaran rumah tersebut dinilai terbukti melanggar Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya. Pemerintah Kota Surabaya telah menunut pihak pembongkar untuk merekonstruksi ulang bangunan cagar budaya tersebut.

Meski Rumah Radio Bung Tomo kini sudah direkonstruksi kembali, banyak orang menilai bangunan itu sudah tak lagi memiliki nilai sejarah sejak perobohan yang dialaminya. Pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah Kota Surabaya kepada PT Jayanata untuk merenovasi rumah tersebut tanpa diawasi, dinilai telah menjadi penyebab perobohan bangunan bersejarah itu.

Baca Juga: Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi