Janji Reformasi yang Belum Terbayar

By , Senin, 18 Mei 2015 | 18:30 WIB

Semangat reformasi yang bergulir sejak 17 tahun lalu masih tersandera berbagai persoalan bangsa. Masalah ekonomi, maraknya praktik korupsi, dan lemahnya penegakan hukum jadi persoalan terbesar yang masih dihadapi bangsa ini. Perubahan yang diusung selama ini dinilai belum membawa negeri ini mencapai amanat awal yang dicita-citakan bersama.

Reformasi memang telah memberikan ruang kebebasan politik dan kebebasan berekspresi yang luas di berbagai bidang. Keterbukaan di bidang politik telah membuka ruang bagi munculnya elite politik dan ekonomi baru yang menikmati kekuasaan, popularitas, dan akses-akses kekayaan. Publik juga telah merasakan ruang kebebasan berekspresi, seperti terlihat dalam kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Hal itu juga terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas yang dilaksanakan pada minggu lalu. Dari berbagai isu yang diusung saat reformasi, kebebasan berpolitik dan kebebasan berekspresi mendapat apresiasi dari publik.

Namun, pemenuhan agenda reformasi yang lain masih jauh dari ekspektasi publik. Dalam bidang ekonomi, mayoritas responden menilai, peran negara masih jauh dari harapan. Di tingkat yang paling dasar, seperti mencukupi kebutuhan pokok, 83,4 persen responden dalam jajak pendapat ini menilai, kiprah negara dipandang belum berhasil.

Hal yang sama terlihat pada penilaian publik dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagian besar responden (78,9 persen) menilai, ancaman bagi masa depan Indonesia adalah perilaku koruptif yang telah menggerogoti sendi-sendi bangsa. Dalam beberapa kasus terungkap, uang rakyat digerogoti bahkan sejak di pembahasan anggaran. Persoalan ini bukan hanya terjadi di pusat, melainkan juga daerah.

Menurut Kementerian Dalam Negeri, hingga Desember 2014 sebanyak 343 kepala daerah berperkara hukum, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah.

Masih maraknya praktik KKN di Indonesia juga tecermin dari peringkat Indonesia di indeks korupsi yang dikeluarkan Transparency International tahun 2014 yang masih relatif rendah. Meski ada kenaikan peringkat dari ke-114 menjadi ke-107, peringkat itu masih jauh di bawah negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Itu mencerminkan cita-cita terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa seperti yang dikumandangkan di gerakan reformasi 17 tahun lalu ibarat masih sebatas slogan.

Penyelesaian kasus HAM

Seperti halnya pemberantasan KKN, mayoritas responden (79,4 persen) menilai, lemahnya penegakan hukum telah menghambat jalannya reformasi. Penegakan hukum di Indonesia hingga kini terkesan ”tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah”.

Pengusutan terhadap kasus-kasus HAM masa lalu menjadi catatan kelam yang dipertanyakan tiga perempat bagian responden. Di mata sebagian responden, penuntasan kasus kekerasan dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998, hingga kini, dinilai masih berlarut-larut.

Kegagalan menerjemahkan amanat reformasi itu kian terasa saat melihat kenyataan bahwa lima pemerintahan yang berkuasa selama ini tak juga mampu bertindak serius menyikapi temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Tim Ad Hoc Komnas HAM terhadap aktor dan dalang kerusuhan Mei.

Ironisnya, pencarian keadilan oleh para keluarga korban kian tampak terpinggirkan, terlibas derap percaturan politik nasional. Tak heran jika lebih dari separuh responden menyatakan keraguan mereka atas tuntasnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Di samping persoalan hukum dan penyelesaian HAM masa lalu, tuntutan reformasi berupa hapusnya peran militer dari supremasi sipil dinilai belum benar-benar terealisasi. Sebanyak empat dari sepuluh responden menyatakan hal itu. Sementara tiga dari sepuluh responden menyatakan sudah terealisasi.

Masih minimnya pelaksanaan agenda reformasi ini membuat sebagian besar responden (68,2 persen) berkesimpulan, pelaksanaan agenda reformasi masih belum memuaskan. Penilaian umum ini meningkat jika dibandingkan dengan hasil jajak pendapat Kompas pada 10 tahun perjalanan reformasi, Mei 2005. Saat itu, 55 persen responden beranggapan, pelaksanaan reformasi telah gagal. Ini menunjukkan belum ada perubahan signifikan terhadap kemajuan pelaksanaan agenda reformasi.