Greenland memanas 4°C sejak 1991, jauh lebih besar dari bagian lain di dunia; kawasan selubung es, tempat terbentuknya danau gletser pada musim panas yang dulu merupakan jalur kecil sepanjang pantai, merayap masuk ke daratan dengan laju 13 persen per tahun. Samudra Arktika pada akhir musim panas lalu memiliki 23 persen lebih sedikit tutupan es permanen dibandingkan September 2005, saat data sebelumnya dicatat. Hanya dalam waktu dua tahun, kawasan es sekitar dua kali lipat luas Pulau Kalimantan telah hilang. Bagaimana efeknya terhadap Greenland dan Bumi jika semua perairan terbuka mulai menyerap sinar Matahari seperti jalanan aspal saat musim panas? Tak seorang pun tahu.
Ini justru membuat para pakar lebih khawatir. “Ada banyak hal dalam sistem iklim yang tak kita mengerti dan sebagian besar memperparah perkiraan yang ada sekarang terhadap dampak pemanasan di masa depan,” kata ahli geokimia Harvard, Dan Schrag baru-baru ini. Ia berbicara di lokakaryanya September lalu untuk mendiskusikan “tindakan putus asa “—rencana memompa sulfur yang menghalangi cahaya Matahari ke lapisan atas atmosfer untuk mendinginkan planet dan mencegah malapetaka.
Lagi pula, belum ada tanda emisi CO2 akan turun. “Pemakaian bahan bakar fosil secara global telah meningkat tiga kali lipat sejak saya mulai mengukur CO2,” tulis Keeling tahun 1998. Dalam empat dasawarsa itu ia memperhatikan bagaimana San Diego merambat ke arah timur Samudra Pasifik, menutupi lahan pertanian dan hutan dengan perumahan, jalan raya, dan mobil. “Saya berulang kali bertanya pada diri sendiri berapa lama lagi perkembangan ini bisa berlangsung.”
Menurut klimatologi terbaru, tak lama lagi, jika kita ingin aman di masa depan.