Perdagangan Satwa Liar Semakin Mengkhawatirkan

By , Minggu, 7 Juni 2015 | 18:00 WIB

Perdagangan satwa liar yang berstatus langka kini semakin mengkhawatirkan, dalam beberapa tahun terakhir. Diduga, satwa-satwa yang berstatus endemik dari berbagai pulau di Indonesia kini sudah semakin mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia.

Penyebaran satwa liar tersebut terjadi melalui jaringan sosial media yang semakin masif perkembangannya dalam 10 tahun terakhir ini. Fakta tersebut kini sudah semakin mengkhawatirkan, karena kekuatan sosial media dewasa ini sudah diakui sangat besar oleh semua kalangan d dunia.

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit/Wildlife Conservatory Society (WCU/WCS) menilai bahwa peredaran satwa liar berstatus langka saat ini sudah semakin tak terbendung. Karenanya, harus dicari cara bagaimana untuk menghentikan perdagangan satwa liar melalui sosial media.

“Sekarang ini satwa liar memang sudah semakin gawat. Sudah banyak yang menawarkan perdagangan satwa liar melalui sosial media. Ini harus dihentikan segera,” tutur Irma di Jakarta, Kamis (5/6).

Menurut Irma, motif perdagangan melalui jaringan dalam jaringan (daring) tersebut rata-rata berujung pada keuntungan materi. Hampir semua transaksi perdagangan melalui daring dilakukan oleh para pedagang lama yang biasa berjualan satwa. Di antara mereka, terdapat para pedagang hewan di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.

WCS mencatat, sepanjang 2014 terjadi transaksi perdagangan melalui daring sebanyak 26 kali. Hampir sebagian besar dari transaksi tersebut dilakukan melalui pembayaran di muka (cash on delivery/COD).

“Namun, selain para pedagang lama, dalam modus perdagangan melalui daring ini, kini mulai terdapat para pedagang baru. Mereka ini adalah para pedagang muda yang mengerti dunia daring, terutama sosial media,” jelas Irma.

Tidak hanya itu, meski dilakukan melalui jaringan daring, namun Irma memastikan bahwa modus baru tersebut sudah memiliki jaringan tetap dan kuat. Dia mencontohkan, untuk burung elang, calon pembelinya hampir dipastikan adalah konsumen dari Jepang. Sementara, untuk burung kakatua, konsumennya berasal dari negara Timur Tengah.

“Harus ada tindakan tegas dari aparat hukum untuk menghentikan aksi perdagangan ilegal melalui daring ini. Karena, bagaimanapun ini sudah mengancam populasi satwa langka tersebut. Saya yakin aparat bissa melacak siapa saja pelaku perdagangan ilegal melalui daring tersebut karena sudah jelas,” papar dia.

Satwa Indonesia, Satwa‘Penakut’ di Dunia

Terus berlangsungnya perburuan liar satwa langka di Indonesia dan kemudian dijual melalui jaringan online maupun offline, menurut Ahli Spesies dari World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto, berdampak pada perilaku satwa yang ada di alam liar.

“Satwa Indonesia di alam liar termasuk penakut jika dibandingkan dengan satwa serupa di negara lain. Ini tak lepas dari perilaku posesif masyarakat Indonesia yang agresif melakukan perburuan liar. Ini memang sangat menyedihkan,” ungkap Sunarto.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, dia meyakini melalui penelitian yang dilakukan, satwa liar berstatus langka di Indonesia akan terkena dampak ekologis yang berat. Dan itu, sudah jelas akan semakin mengancam populasi mereka yang sudah sedikit saat ini.