Papua: Bianglala di Batas Akhir

By , Selasa, 9 Juni 2015 | 00:05 WIB

Pergilah ke timur. Melanconglah ke pedalaman khatuliswa yang ada di sebelah timur negeri ini. Di sana, niscaya kita mendapatkan pengalaman menakjubkan—bukan hanya indah!

Papua menawarkan pelangi—yang memesonakan indra melalui warna-warni cemerlangnya. Bagi kita bianglala bagaikan perlambang betapa indahnya menikmati keberagaman. Tak ubahnya gejala optik di langit, Papua menawarkan budaya yang bervariasi dan bentang alam heterogen, mulai dari perairan dangkal, pesisir, dataran rendah, hingga pegunungan berbalutkan salju tropis. Tentu keadaan itu memikat hati pejalan untuk singgah.

Bagi sebagian pejalan atawa traveler, Papua adalah bentang alam yang harus disinggahi dan dijejaki. Alam raya yang mengelilinginya seolah mengundang orang untuk datang dan berkenalan dengannya. Betapa tidak, kita lihat dari atas, hamparan salju menyelimuti bagian atas batuan yang menembus awan di dekat lintasan khatulistiwa. Puncak Ndugundugu itu yang menjadi salah satu agenda pendakian internasional bukanlah satu-satunya tujuan perjalanan. Tanah Papua membentang dari pulau-pulau satelit di wilayah kepala burung hingga setengah badan Pulau Nugini. Tempat itu melahirkan beragam budaya—yang menghasilkan bianglala kehidupan. Masyarakat Papua yang terbuka berinteraksi dengan kaum pendatang. Budaya tuan rumah menjadi pijakan awal kita saat mengembara di batas akhir timur Nusantara.

Seorang rekan pejalan pernah berseloroh, “Janganlah bilang sudah sampai di Papua kalau Anda belum pernah ke Wamena.” Mengapa begitu? Berada di wilayah Baliem—lembah besar di ketinggian 1.600 meter, Wamena bak pusat peradaban yang berbentuk mangkuk lonjong. Sekeliling kota berpagarkan bukit dan gunung. Tempat ini menjadi pintu masuk atas petualangan yang mengasyikkan di wilayah Pegunungan Tengah—daerah yang mungkin paling terakhir mengadakan kontak dengan dunia luar di Papua.

Memandang ke arah Sungai Balim, warga menikmati keragaman Tanah Papua. (Martin Hardiono/National Geographic Traveler)

Apabila sudah tiba di Wamena, janganlah berdiam diri di pusat kota. Cobalah pergi ke wilayah pedalaman yang berada di sekelilingnya. Ada sejumlah pilihan rute trekking di seputar Wamena. Waktu tempuhnya, satu sampai dua jam berjalan kaki. Mulai dari Aikima-Suroba; Kurulu-Air Garam; Asotipo-Air Garam Kuantapo hingga Hepuba-Muara Kali Uwe di Sungai Balim.

Saat ini, ada kisah perjalanan yang populer hingga sekarang: ke arah tenggara kota Wamena. Rute ini bermula dari Distrik (setingkat kecamatan) Kurima yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Yahukimo. Sajian utamanya, mengamati budaya masyarakat setempat.

Martin Hardiono, Pandji Nuariman dan Freddy Narabang—pejalan yang kerap bolak-balik ke Tanah Papua—pernah mengisahkan pengalaman mereka menjelajahi pedalaman Wamena. Rasa lelah mereka terobati oleh panorama sabana, honai, dan kebun ipere (ubi jalar). Bukit-bukit berjajar seakan saling unjuk keindahan kepada kami. Bonus lainnya, tebing berbatu yang menjulang. Bebatuan itu tampak bagaikan batu asah. Mereka juga sempat singgah di perkampungan warga. Usai berfoto bersama dan menyalami mereka, mereka meneruskan perjalanan.

Seorang warga bersedia mengantarkan mereka hingga Tangma. Katanya, kampung itu sudah dekat. Melewati satu bukit, lalu kami akan tiba di tempat tujuan. Perjalanan berisikan panorama indah pusat kota Wamena, honai yang tersusun rapi di bagian lembah. Martin dan kawan-kawan juga mendapati pemandangan kebun masyarakat yang mereka kelola dengan kearifan lokal. Mereka mendapatkan pengetahuan mengelola lahan pertanian dari leluhur. Lahan yang mereka kerjakan terkadang memotong kontur, namun kami tidak pernah mendengar berita bencana longsor.

Suara gemericik sungai mu­lai terdengar, ternyata benar, beberapa ratus meter ada sungai yang alirannya tidak terlalu deras, namun air telihat jernih. Jalur kami harus melewati sungai itu. Untuk mencapainya, kita harus menuruni medan yang cukup terjal. Tentu untuk menuruni rute ini dengan hati-hati. Sejenak mereka membasuh muka, lumayan menyegarkan. Yang melegakan hati, mereka kerap berpapasan dengan kaum ibu yang baru pulang dari kebun. Senyum mereka selalu menghiasi wajah. Keramahan khas Baliem. "Kami memang sering main ke Papua. Tapi, setelah menjelajahi lebih jauh Wamena, kami merasa puas. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Ternyata, kehidupan pedalaman Papua itu begitu berwarna dan beragam. Kami sangat senang dan puas!" tukas Martin dengan gembira. Sekadar informasi, rute yang dijelajahi Martin dan kawan-kawan itu saat ini menjadi salah satu rute populer bagi pelancong—dalam dan luar negeri—saat menyinggahi Wamena.

Para pendaki harus menggunakan teknik penyeberangan tyrolean, untuk mencapai puncak Carstensz Pyramid. (Mahitala Unpar)

Belum cukup petualangan Wamena di Pegunungan Tengah? Ikuti perjalanan budaya di tempat tinggal Suku Kamoro.

Seorang lelaki berusia 40 tahun, terlihat sedang asik mengukir sebuah gelondongan kayu sepanjang 1,5 meter. Tangan kanan yang memegang palu, terlihat beberapa kali memukul kepala pahat, yang digenggam dengan tangan kiri. Mata pahat mengiris badan kayu, membentuk suatu pola tertentu. Setelah beberapa lama, terlihat motif apa yang sedang ia gambar di kayu itu: Buaya dan komodo.

Lelaki ini bernama Titus, warga Suku Kamoro, satu suku yang bertempat tinggal di distrik Iwaka, sekitar 60 kilometer dari Timika, Papua.

Para seniman ukir suku Kamoro disebut maramowe. Dan, tidak semua warga Kamoro bisa menjadi maramowe. (Maulana Bachri/Kompas TV)

Seni ukir dan Suku Kamoro, memang dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam kesehariannya, warga Kamoro biasa membuat berbagai jenis ukiran, untuk bermacam keperluan. Perisai, dayung, mangkuk sagu, gendang, dan barang-barang sehari-hari lainnya, mereka buat dengan begitu indahnya. Selain itu mereka juga membuat ukiran khusus. Wemawe, patung yang berbentuk manusia dan mbitoro, totem yang dibuat untuk para leluhur, adalah kreasi para seniman ukir Kamoro yang sulit dicari tandingannya di dunia. Segala ukiran ini mereka buat dengan dua tujuan: untuk perangkat upacara adat dan juga untuk mereka jual.

Warga Kamoro mendapat ide motif ukiran dari bermacam sumber. "Saya dapat ide dari legenda suku kami, dari khayalan dan bahkan dari mimpi," kata Titus. Dari sumber-sumber idenya inilah, Titus dan warga Kamoro lainnya, kemudian memahat kayu, membentuk bermacam motif, semisal hewan, hutan, pantai atau sungai.

Para seniman ukir suku Kamoro disebut maramowe. Dan, tidak semua warga Kamoro bisa menjadi maramowe. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat warisan keahlian mengukir dari nenek moyang, yang bisa melakukannya.

Para seniman ukir suku Kamoro disebut maramowe. Dan, tidak semua warga Kamoro bisa menjadi maramowe. (Maulana Bachri/Kompas TV)

Di distrik Iwaka, ada sebuah sanggar yang sengaja dibuat untuk para maramowe. Di sinilah para seniman ukir Kamoro biasa berkumpul untuk menghasilkan karya.

Kata Arien Prihayuti, seorang jurnalis televisi, di dalam sanggar, saat para maramowe yang asyik bekerja, biasanya, ada bunyi lain yang menyelinap, di sela ketukan tak teratur palu dan pahat, dari para seniman ukir Kamoro. Bunyi ini terdengar lebih teratur, berirama, dan merdu. Inilah suara eme, sejenis gendang khas suku Kamoro.

Eme biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu milik masyarakat Kamoro. Warga biasa menyanyi untuk memanggil arwah leluhur, dengan syair-syair tertentu. Tujuan pemanggilan arwah leluhur adalah agar dijauhkan dari segala gangguan, saat sedang mengukir.

Ada beberapa aturan khusus soal eme. Pertama, Ia harus diukir dengan motif manusia. Selain itu, eme juga harus terbuat dari kayu khusus, yakni kayu koya. Permukaan untuk menabuhnya pun harus dilapisi dengan kulit biawak. Dan, agar suara yang ditimbulkan lebih nyaring, warga Kamoro biasa menambahkan damar di permukaan gendangnya ini. Jadilah eme dan lagu, membuat suasana di dalam sanggar menjadi meriah.

Warga Kamoro mendapat ide motif ukiran dari bermacam sumber. (Okke Kurniawan/Kompas TV)

Bagi Arien, perjalanan ke Suku Kamoro bagaikan mimpi yang terwujudkan. Ia telah lama mengidamkan untuk dapat menjejaki tanah saudara jauh kita itu untuk mengetahui lebih dalam kehidupan mereka.

Papua memang begitu indah—yang menawarkan bianglala kehidupan di batas akhir. Tentu, kita bisa mewujudkannya dengan menyiapkan segala sesuatu sejak jauh hari. Sisihkanlah waktu dan anggaran kita untuk menuju petualangan di ujung timur Indonesia. Perencanaan yang baik adalah kunci dari semuanya.

Melihat seluruh hal dari A sampai Z sebelum pergi berpetualang bisa jadi memberikan kenyamanan di depan. Termasuk di dalamnya menyiapkan proteksi terhadap perjalanan yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satunya adalah iFWD Liberate dari FWD Life Indonesia, yang menawarkan perlindungan diri di mana kita bebas menentukan besar uang pertanggungan sesuai dengan kebutuhan, tanpa diperlukan pemeriksaan medis untuk membeli asuransi, dan berlaku di seluruh dunia.