Pulau Harta Karun

By , Senin, 8 Juni 2015 | 16:40 WIB

Di dekat Kellia, Siprus, 34°58'29" LU, 33°36'46" BT

“Di kejauhan senantiasa terlihat pegunungan. Dan di atas seluruh pemandangan itu melayang cahaya aneh, selaput baja dan bungur, yang mempertajam lekuk dan ruang, serta menjadikan setiap kambing pengembara, setiap pohon carob terasing, mencolok di bumi putih seakan dilihat melalui stereoskop.”

—Robert Byron, “Jalan ke Oxiana”

Kapal merapat di Limassol. Sinar matahari jatuh bak guillotine kromium. Berkilau. Tajam. Mematikan. Saya terhuyung-huyung ke dalam cahaya, meniti papan besi dari kapal ke pantai yang merah muda oleh orang-orang Rusia yang berlibur, melewati minuman kopi beku yang dijual di setiap toko pojok, di atas aspal datar mulus di mana-mana (ciri masyarakat makmur yang tak terhindarkan ini akan membuat saya lecet untuk pertama kalinya sejak Afrika), memasuki pulau Siprus.

Masuk ke darat melalui salah satu pulau berpenghuni tertua di bumi. (Paul Salopek)

 

“Perekonomian sedang turun,” katan teman baru saya yang orang Siprus etnis Yunani, Savvas Sakkadas.

Savvas adalah dosen di Jurusan Manajemen Hotel dan Pariwisata di Universitas Teknologi Siprus. Dia melihat saya berjalan melintasi desanya saat dia sedang memotong rumput di halaman. Dia mengundang saya menginap di rumahnya. Negaranya yang mungil ini, menurut laporannya, dibangkrutkan oleh resesi global—akibat para penukar uang yang berdagang di atas gunung utang.

“Salah satu bank terbesar kami gulung tikar tahun lalu,” kata Savvas. “Suatu sore hidup kami normal. Lalu—besok paginya—panik. Antrean panjang di ATM. Orang kehilangan hasil menabung seumur hidup. Mereka membatasi penarikan pada 200 Euro [2,8 juta rupiah] per hari per orang.”

“Mereka” adalah Uni Eropa. UE memberi dana talangan kepada Siprus.

“Bagaimana perekonomian di AS?”

“Turun.”

“Apakah bankir di sana dipenjara?”

“Tidak."