Bagaimana Pengalaman Umat Kristiani yang Ikut Berpuasa Ramadan?

By , Rabu, 8 Juli 2015 | 15:10 WIB

Bagaimana rasanya ikut berpuasa selama Ramadan?

Katy Niles adalah salah satu warga Amerika Serikat yang ikut dalam gerakan #Christians4Ramadan, sebuah bentuk solidaritas umat Kristiani pada umat Muslim dengan ikut berpuasa selama Ramadan.

Tagar ini ramai digunakan pada akhir Juni lalu dan telah dikicaukan lebih dari 2.000 kali.

#Christians4Lent terinspirasi dari gerakan #Muslims4Lent yang lebih dulu dilakukan. Gerakan #Muslim4Lent merupakan bentuk solidaritas warga Muslim untuk Nasrani dengan ikut melakukan puasa pra-Paskah selama 40 hari.

BBC Indonesia berkesempatan bertanya pengalaman Katy Niles dan berikut perbincangannya:

1. Mengapa Anda ingin ikut berpuasa selama Ramadan, padahal Anda seorang Kristen?

Ada beberapa kejadian yang membuat saya berpartisipasi dalam gerakan #Christians4Ramadan. Pertama, saya menyadari bahwa umat Muslim melakukan gerakan #Muslims4Lent dan saya merasa terinspirasi untuk membalas solidaritas dan kasih mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya mendengar banyak cerita tentang bagaimana umat Muslim dan Kristiani membantu satu sama lain dan melindungi satu sama lain dari kekerasan agama. Saya juga mulai mengajar di sebuah keluarga Muslim tahun lalu, dan saya mulai melihat bagaimana mereka sangat berorientasi pada perdamaian dan kasih—sangat berbeda dengan apa yang banyak digambarkan oleh media.

Umat Muslim Inggris harus berpuasa selama 19 jam sepanjang bulan Ramadan tahun ini. (Reuters/Al Arabiya)

Jadi ketika saya melihat umat Muslim berpartisipasi untuk ikut berpuasa bersama saya dan kawan-kawan yang lain selama 40 hari menjelang Paskah, saya sangat terharu. Jadi saya mengatakan kepada diri sendiri, "Oke! Saya akan bergabung dengan Anda saat Ramadan!"

Setelah saya menggunakan #Christians4Ramadan, saya menemukan banyak umat Kristiani yang juga melakukan puasa bersama umat Muslim. Jadi kami mulai berkomunikasi di sosial media dan memberi semangat satu sama lain. Saya senang saya bukan satu-satunya. Ini luar biasa.

!break!

2. Bagaimana pengalaman puasa Anda? Apakah masih berlangsung hingga sekarang?

Saya masih berpuasa dan akan tetap melakukannya sampai Idul Fitri. Tapi jujur, puasa yang saya lakukan adalah puasa yang dimodifikasi. Aktivitas saya (di sekolah dan bekerja magang) sangat menuntut saat ini.

Saya sarapan ketika saya bangun tidur (setelah matahari terbit) dan puasa hingga Maghrib. Saya harus minum air putih karena di tempat saya dan aktivitas saya. Saya sering melakukan puasa dalam tradisi Kristen, tetapi pengalamannya berbeda.

Saya sangat bersemangat tentang orang-orang yang mencoba tradisi budaya dan tradisi agama lain dan membagi pengalaman mereka.

Masjidil Haram dibanjiri cahaya kala senja yang menandakan akhir waktu berpuasa. Tempat ini disesaki oleh kaum muslim yang melakukan umarah di bulan Ramadan. Mereka berputar mengelilingi Ka'Bah, situs tersuci agama Islam. (Amer Hilabi. AFP/Getty Images)

(Berpuasa selama Ramadan) tidak mudah! Tetapi dengan berpuasa, saya mencoba untuk menjalankannya dengan semangat kasih, bukan ketegaran. Saya ingin ini menjadi proses belajar tentang spiritualitas orang lain, budaya dan cara hidup orang lain, dan juga tentang spiritualitas saya.

Kemarin, saya berhasil puasa dengan benar dari subuh hingga matahari terbenam karena tidak banyak aktivitas hari itu. Saya sarapan pada pukul 05.30 pagi dan makan malam setelah pukul 8.00 malam. Tantangan besar, tetapi saya berterima kasih kepada saudara-saudara Muslim di luar sana yang menantang saya melakukan ini.

!break!

3. Bagaimana tanggapan orang-orang terdekat Anda (keluarga dan teman-teman) ketika Anda mengatakan akan ikut puasa?

Di keluarga saya, hanya ibu saya yang tahu. Dia cukup khawatir. Dia tinggal di sebuah wilayah AS yang medianya cenderung mengklaim semua Muslim terkait dengan ISIS, atau mereka mencoba untuk menguasai dunia.

Dia bertanya apakah saya akan menjadi mualaf? Namun saya bisa bercerita dengannya tentang bagaimana mayoritas Muslim sebenarnya - damai, saling mengasihi, pekerja keras, dan orang-orang yang baik.

Seorang pria serius membaca Alquran di salah satu sisi Masjid Istiqlal, Jakarta, untuk mengisi waktu saat bulan Ramadan. (Agung Supriyanto/Fotokita.net)

Tentang menjadi mualaf, mungkin tidak. Saya tidak ingin ini menjadi tentang mengubah agama seseorang atau "memenangkan" agama yang satu di atas agama yang lain. Saya pernah berada di situasi itu dan saya menyesalinya.

Pengalaman Ramadan ini saya rasa untuk memahami orang lain—terutama memahami kelompok yang tidak beruntung.

Saat ini, saudara-saudara Muslim di sini hampir tak punya suara karena kelompok fundamentalis yang mengklaim dirinya Islam. Umat Muslim termarginalisasi di Amerika, karena kita cenderung percaya apa yang kita lihat atau dengar - bahwa ISIS adalah Islam dan semua Islam ingin kami mati karena kami "kafir".

Saudara-saudara Muslim saya mengajarkan bahwa itu tidak benar. Mereka tidak hanya mengajarkan saya dengan kata-kata—tetapi lebih penting—dengan perilaku mereka dan cara mereka menjalani hidup mereka.