Saat Belanda Menguasai Hutan Jati di Blora Sekitar Tahun 1897-1942

By Galih Pranata, Rabu, 24 November 2021 | 18:00 WIB
Perusahaan pengelola hutan jati (houtvesterij) milik Hindia-Belanda. (KITLV)

Tiap tahun di beberapa tempat sebuah persil hutan ditebang dan selanjutnya di bekas tebangan ditaburkan biji-biji jati. Sistem pengelolaan hutan diadaptasi dari konsep pengelolaan yang ada di Eropa, meskipun beberapa hal adalah kebaharuan.

"Pengelolaan hutan jati di Blora yang diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda meliputi 4 tahapan, yaitu penentuan daur, penjarangan, tebangan, dan pemasaran hasil," lanjutnya.

Mulai dari penentuan daur hingga pemasaran hasil, pihak Belanda banyak diuntungkan dengan penjualan komoditas kayu jati yang laku keras di pasaran. Utamanya pasar mancanegara, sehingga beberapa kebijakan selanjutnya mulai ditetapkan. 

Pada tahun 1935, Boschwezen mengeluarkan petunjuk pembuatan tanaman hutan jati dengan sistem tumpangsari. Sistem ini awalnya ditentang oleh petani bumiputera karena dinilai masih asing, sampai pada akhirnya diterapkan di beberapa hutan jati Blora.

Sistem tumpangsari, umumnya dilakukan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), khususnya Bengawan Solo yang mengalir melintasi beberapa hutan jati di Blora. "Bengawan Solo dapat digunakan sebagai lalu lintas jalur pengiriman kayu jati melalui transportasi sungai," ungkap Kholifah dan Kasuma.

Baca Juga: Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh

Beberapa wilayah houtvesterij (wilayah hutan yang di kelola Belanda) di sekitar DAS kemudian dipetakan untuk diterapkan sistem tumpangsari. "Pemberlakuan sistem diterapkan pada hutan jati di houtvesterij Tjepu, houtvesterij Randoeblatung, dan houtvesterij Jepon bagian utara yang berbatasan dengan Karesidenan Rembang," jelasnya.

Sejak pemberlakuan sistem tumpangsari dan ditetapkannya wilayah-wilayah dengan status houtvesterijen, mempersempit ruang gerak para petani hutan jati di Blora. Saat itu, warga lokal tidak diperbolehkan mengambil kayu jati untuk keperluan bangunan. Mereka yang nekat, akan ditangkap karena dianggap mencuri.

Meski begitu, penangkapan warga atas dasar tuduhan pencurian, tidak dapat mereka pahami. "Sebelum ditetapkanmya status houtvesterijen, mengambil kayu jati di hutan adalah hak bagi setiap warga bumiputera di Blora," imbuhnya.

Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia

"Samin Surosentiko, merupakan salah satu warga bumiputera di Blora yang kerap kali keluar masuk bui akibat tuduhan pencurian kayu jati di hutan bersatu houtvesterijen," kisahnya. Tak heran, di era 1936-an, terjadi bentrokan antara masyarakat dengan pemerintah Hindia-Belanda, atas pemberlakuan status houtvesterijen.

Komersialisasi hutan bertolak belakang dengan konsep yang berlaku di masyarakat, yaitu sakcukupe. "Warga tak pernah mengenal sistem penjualan kayu, yang mereka tahu adalah penggunaan kayu jati secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka," tambahnya lagi.

Kemerosotan hasil hutan jati akibat eksploitasi skala besar melalui status houtvesterijen, membuat sejumlah pihak mendorong adanya perlawanan terhadap Belanda. Salah satu tokoh perlawanan adalah Samin Surosentiko.

Meskipun, pada akhirnya, Jepang yang berhasil mengubah status hutan jati dengan memaksa Belanda menyerah tanpa syarat pada 1942, akan tetapi, Masyarakat Blora tetap mengenang Samin karena keberaniannya menentang Belanda.

Baca Juga: Pramoedya Ananta Toer, Sang Genius nan Kontroversial Asal Blora