Penyakit Aneh "Hikikomori" Mewabah di Jepang

By , Sabtu, 11 Juli 2015 | 15:00 WIB

Sebuah fenomena "penyakit" aneh sedang mewabah dan menghinggapi hampir satu juta warga Jepang. Penyakit aneh itu disebut "Hikikomori" dan penderitanya sebagian besar adalah para pemuda.

Mereka yang dihinggapi "Hikikomori" biasanya menarik diri dari kehidupan sosial, mengisolasi diri di dalam kamar yang dalam beberapa kasus berlangsung bertahun-tahun.

Seorang pakar hikikomori Dr Takahiro Kato pernah mengalami masalah ini di masa remajanya. Kini dia bekerja untuk mencegah "penyakit" ini menyebar dan menghinggapi geneasi muda Jepang.

Dr Kato, yang mempelajari hikikomori di Universitas Kyushu, Fukuoka, mengatakan dia sudah pernah melihat beberapa kasus paling parah yang diderita para pria berusia 50-an yang sudah menarik diri dari kehidupan sosial selama 30 tahun.

Kato melanjutkan, para penderita hikikomori, yang menolak kontak dengan teman dan bahkan keluarga, seringkali adalah para pemuda cerdas dan berkemampuan tinggi.

"Saya sangat khawatir karena kini sekitar satu persen dari populasi Jepang mengidap hikikomori atau gangguan sejenisnya," kata Kato.

"Sebagian besar dari mereka adalah lulusan universitas sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian negeri ini. Sejumlah penderita adalah lulusan universitas ternama dan ini sangat menyedihkan," tambah dia.

Yuto Onishi (18), asal Tokyo, sudah mengurung diri di kamarnya selama hampir tiga tahun sebelum dia mulai mencari pengobatan sekitar enam bulan lalu.

Yuto menghabiskan harinya dengan tidur lalu menjelajah internet di malam hari serta membaca komik Jepang alias manga. Selama mengurung diri, Yuto tak pernah berbicara dengan orang lain.

Saat memulai terapi, Yuto mengatakan kondisinya kemungkinan dipicu sebuah insiden saat dia duduk di bangku SMP dan gagal menjadi juara kelas. "Sekali Anda mengalaminya (hikikomori), maka Anda akan kehilangan realitas. Saya tahu hal itu tak lazim namun saya tak ingin berubah. Saya merasa aman di sana," ujar Yuto.

Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan mendefinisikan hikikomori sebagai orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam masyarakat, terutama bekerja atau belajar, dan tidak memiliki hubungan dekat di luar anggota keluarga.

Dr Kato menegaskan, kondisi lingkungan sekitar memberikan kontribusi terhadap munculnya hikikomori, yang paling banyak menghinggapi keluarga kelas menengah.

"Kondisi ini sangat jarang menimpa keluarga miskin. Sehingga lingkungan kelas menengah, keluarga kelas menengah adalah kelompok paling rentan menderita hikikomori," ujar Kato.

Banyak penderita hikikomori mengurung diri di rumah keluarga mereka dan seringkali para orangtua tetap mendukung keputusan anak-anak mereka yang menarik diri dari lingkungan.

"Jepang sangat berbeda dengan masyarakat Barat. Sebagai contoh, hubungan ibu dan anak sangat berbeda dengan budaya Barat," papar Kato.

"Para orangtua Jepang terlalu melindungi anak-anak mereka. Sehingga bagi beberapa orang sangat sulit untuk menjadi mandiri. Itulah mengapa jumlah kasus hikikomori di Jepang sangat tinggi," tambah Kato.

Kato melanjutkan, secara budaya anak laki-laki Jepang lebih tertekan karena harus masuk ke universitas terbaik, perusahaan terbaik dan lain-lain. Sehingga, Kato mengatakan, terapi juga harus dilakukan untuk anggota keluarga penderita hikikomori demi mengubah model hubungan antar-anggota keluarga.

Namun, banyak penderita hikikomori enggan berbicara kepada keluarga mereka sendiri apalagi menjalani terapi. Sehingga Jepang menghadapi tantangan serius dalam mengidentifikasi masalah ini untuk keselamatan generasi mendatang.