Payahnya Pengelolaan Sumber Air Bersih di Jawa

By , Rabu, 15 Juli 2015 | 17:50 WIB

Program bantuan air bersih dengan cara memasok air dinilai kurang efektif dalam memenuhi kebutuhan air bersih warga yang desanya dilanda kekeringan. Apalagi musim kemarau di Jawa Tengah sepanjang tahun selalu ditandai dengan meningkatkan desa yang minta bantuan air. Untuk itu, pemerintah diminta lebih fokus membangun bendung atau embung sebagai persediaan air bersih.

Ahli hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Robert J Kodoatie, Selasa (14/7), menyatakan keprihatinannya atas maraknya peningkatan infrastruktur yang berimbas terhadap tidak lagi terlindunginya sumber-sumber air di Jawa. Dampak dari itu, kekeringan pada musim kemarau ada tren desa yang terlanda makin meluas. Sementara itu, model persediaan air di pedesaan belum berkembang.

Menurut Robert Kodoatie, menyediakan air bersih juga untuk kepentingan masyarakat. Namun, pengelolaan sumber air selalu kalah dibandingkan dengan infrastruktur lain, misalnya kepentingan kelancaran transportasi darat. Tidak ada upaya meningkatkan nilai air. Akibatnya, saat musim hujan lebih dari 70 persen air terbuang percuma, bahkan mendatangkan bencana banjir dan longsor.

Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang Hamzah Fatoni mengemukakan, pada musim kemarau hingga pertengahan Juli 2015, sudah 20 desa mengalami kekeringan. Warga desa setempat sudah mengajukan bantuan air bersih. Jumlah desa yang kekeringan bertambah dan diperkirakan hingga akhir Agustus bisa mencapai 50-60 desa dilanda kekeringan. Bahkan ketika kemarau ekstrem, desa yang kekeringan bisa hingga 100 dari 290 desa di Rembang.

"Untuk keperluan bantuan air bersih, Pemerintah Kabupaten Rembang menyediakan anggaran Rp 200 juta. Apabila kekeringan cukup panjang, untuk memenuhi permintaan bantuan air bersih saja tidak mencukupi," kata Hamzah Fatoni.

Dalam memenuhi permintaan pasokan air, kalau mengandalkan pemkab saja tentu kewalahan. Untuk itu, Pemkab Rembang juga meminta bantuan ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Palang Merah Indonesia, serta donatur air bersih dari instansi lain, termasuk perusahaan swasta.

!break!

Hamzah Fatoni mengatakan, kecamatan yang paling parah dilanda kekeringan meliputi Kecamatan Sumber, Kaliori, Pancur dan Kecamatan Sarang. Di daerah itu mestinya warga dapat mengupayakan air bersih ketika musim kemarau, jika tersedia embung atau bendung air.

Di Kecamatan Sumber, Rembang, sejak 2004 sebenarnya sudah ada rencana untuk membangun Bendung Kalimanis. Atas rencana ini, sudah dilakukan survei dan studi lapangan, bendung itu akan mencakup seluas 10 hektar, dengan jangkauan sejumlah desa di dua wilayah di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora.

Proyek Bendung Kalimanis itu ternyata belum bisa terwujud. Kendalanya, pemerintah pusat kurang serius melanjutkan proyek bendung yang biaya pembangunannya kalau itu diperkirakan Rp 800 miliar.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah, hingga pertengahan Juli 2015 musim kemarau telah berdampak terhadap 350 desa yang kekeringan. Indikasinya, warga di desa kekurangan air bersih menyusul surutnya persediaan air di sumur, sungai, ataupun embung. Kekeringan itu tersebar di 80 kecamatan di Kabupaten Banjarnegara, Blora, Boyolali, Demak, Grobogan, Pati, Purbalingga, Temanggung, dan Wonogiri.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan, pemprov menyiapkan dukungan ketersediaan air bersih. Pemenuhan kebutuhan air bersih ini terkait dengan tingkat kesehatan masyarakat di pedesaan. Kekeringan yang meluas bukan hanya memerlukan embung atau bendung, melainkan juga bukti adanya kerusakan lingkungan di daerah hulu aliran sungai yang merupakan sumber mata air.

!break!

Terancam puso

Sedikitnya 700 hektar lahan pertanian padi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dilanda kekeringan. Bahkan, sekitar 60 hektar di antaranya dinyatakan gagal panen. Kondisi ini dikhawatirkan mengancam produksi pangan di wilayah tersebut.

Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Dinpertanbunhut) Banyumas Tjujun Sunarti Rochaidi mengatakan, hujan yang belum turun hingga dua bulan terakhir menyebabkan sedikitnya 700 hektar sawah terancam puso. Sawah yang dilanda kekeringan terparah berada di Kecamatan Purwojati, Jatilawang, dan Kalibagor. Selain itu, areal sawah lain di Kecamatan Ajibarang, Wangon, dan Lumbir juga terancam gagal panen paling tidak sekitar 60 hektar.

Tjujun mengatakan, beberapa upaya yang dilakukan untuk menekan angka kekeringan adalah membagikan 50 pompa air ke sejumlah kelompok tani. Oleh karena keterbatasan pompa air, Dinpertanbunhut Banyumas meminta kelompok tani yang belum mendapatkan pompa air meminjam kepada kelompok tani lain.

Kekeringan tahun ini, kata Tjutjun, diperparah dengan mengeringnya beberapa embung air. "Petani semakin sulit dapat air, padahal saat ini usia tanaman padi baru berumur 40 hari. Kondisi ini bisa menyebabkan puso," katanya.

Saat ini luas areal sawah di Banyumas mencapai 34.000 hektar, dengan hasil panen sekitar 5,9 ton per hektar. Dengan kekeringan yang melanda 700 hektar itu, sekitar 4.130 ton padi terancam hilang.

!break!

Wasirun (44), petani Desa Sawangan, Kecamatan Ajibarang, mengatakan, sebagian besar petani di desanya kini mulai memanfaatkan pompa air untuk mengalirkan air ke areal persawahan desa setempat.

"Kami baru menanam padi. Usia padi sekitar 30 hari. Jika dalam seminggu tidak kena air sama sekali, bisa gagal panen," ujar penggarap sawah seluas 1.000 meter persegi itu.

Sementara di Kebumen, warga 61 desa dari 17 kecamatan di Kabupaten Kebumen mengajukan permintaan penyaluran air bersih kepada pemerintah setempat. Sebagian besar wilayah yang dilanda kekeringan berada di areal perbukitan kapur.

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kebumen Eko Widianto mengatakan, pihaknya mulai mengambil langkah antisipatif menghadapi musim kemarau yang mengakibatkan sejumlah daerah mengalami kesulitan air bersih.

"Kami sudah mengecek langsung ke lapangan dan mulai mendistribusikan bantuan air bersih kepada masyarakat yang masuk dalam data status darurat kekeringan," katanya.