Nationalgeographic.co.id – Wabah penyakit tidak hanya menimbulkan krisis bagi kesehatan manusia tetapi juga dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya, sistem pangan. Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC), tiga dari empat penyakit infeksi baru (PIB) yang dapat menjadi wabah di dunia merupakan penyakit zoonosis, yakni menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Sementara, hewan merupakan salah satu penyedia pangan bagi manusia. Salah satu contoh zoonosis yang mewabah adalah flu burung. Penyakit tersebut timbul di Indonesia pada 2005 dan menjangkit 15 provinsi. Adapun jenis unggas yang banyak terjangkit adalah ayam, bebek, dan burung puyuh yang menjadi sumber pangan masyarakat Indonesia. Tercatat, selama periode 2005 sampai 27 Oktober 2018, flu burung mengakibatkan 168 kematian dari total 200 kasus.
Dampak wabah flu burung tergolong kompleks. Sebab, tidak hanya isu kesehatan manusia dan hewan saja yang timbul, tetapi juga permasalahan ekonomi dan pasokan pangan dari unggas. Selain kematian unggas yang masif, untuk memitigasi penyebaran penyakit, pemusnahan massal atau stamping out perlu dilakukan. Dengan demikian, produksi daging dan telur sebagai sumber pangan menurun. Di sisi lain, peternak diperkirakan menderita kerugian hingga mencapai Rp 4,1 triliun.
Dilansir dari laman Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), meski penyakit zoonosis seperti flu burung dapat ditangani melalui tindakan seperti penggunaan vaksin, patogen tersebut mungkin saja melindungi diri dengan bermutasi. Virus juga bisa berpindah dari satu inang ke inang lainnya, sehingga virus tetap tersebar di jaringan rantai makanan.
Baca Juga: De Voormoeders: Kisah Nenek Sejarawan Suze Zijlstra di Hindia Belanda
Dalam kasus flu burung, laporan FAO juga menyatakan bahwa penyebaran virus dapat terjadi ketika manusia melakukan interaksi langsung atau ketika berada di lingkungan yang terkontaminasi. Salah satunya melalui pasar tradisional, tempat pemotongan hewan, lokasi peternakan, lokasi penguburan bangkai unggas yang terinfeksi, hingga konsumsi rumah tangga. Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa virus flu burung sensitif terhadap panas dan produk pangan asal hewan dapat dikonsumsi jika dimasak pada suhu yang tepat, masyarakat pada saat itu sempat khawatir untuk mengonsumsi unggas. Hal ini menyebabkan harga unggas terjun bebas di negara-negara yang terjangkit. Masih menurut CDC, wabah akibat penyakit zoonosis mungkin saja terjadi kembali di masa depan. Sebab, seiring berjalannya waktu, habitat hewan ternak semakin dekat dengan hewan liar. Akibatnya, hewan domestik dan ternak yang dipelihara manusia bisa berperan sebagai inang perantara penularan penyakit zoonosis dari hewan liar.
Pada kenyataannya, kehidupan manusia dengan hewan dan alam akan terus berdampingan, tetapi penyebaran zoonosis dapat dicegah. Pencegahan timbulnya PIB termasuk yang bersifat zoonosis dapat dilakukan dengan dua cara, yakni menjaga keharmonisan antara kehidupan manusia, hewan, dan lingkungan sekitar; serta penerapan protokol kesehatan dan higienitas pada sistem pangan asal hewan, mulai dari peternakan, pemotongan, hingga ke konsumen
Dalam mengupayakan kedua hal tersebut, pemerintah Indonesia menjalin kolaborasi dengan FAO melalui pendekatan One Health yang mengusung keterkaitan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan dan aktivitas dengan pendekatan One Health dilaksanakan melalui tiga prinsip, yakni komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi multidisiplin. Adapun pihak yang berperan di dalamnya mencakup praktisi kesehatan hewan, manusia dan lingkungan.
Salah satu contoh keharmonisan antara habitat hewan liar, hewan ternak, dan manusia dapat dilihat di desa Janetaesa, Maros, Sulawesi Selatan. Warga setempat hidup dengan beternak sapi dan kuda, tetapi lingkungan peternakan berdampingan dengan habitat kelelawar buah. Kelelawar merupakan inang patogen-patogen zoonosis yang dapat melompat ke hewan ternak atau manusia. Meski begitu, hingga saat ini, penularan penyakit zoonosis belum pernah terjadi, menurut hasil surveilans rutin yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dengan dukungan FAO dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Perilaku masyarakat desa Janetaesa yang menjaga keseimbangan habitat dan populasi kelelawar buah menjadi alasannya. Masyarakat desa tersebut tidak pernah mengusir, mengganggu, atau bahkan mengambil buah-buahan dari pohon yang menjadi sumber makanan kelelawar sehingga kelelawar tetap memiliki makanan yang cukup dan tinggal di habitatnya.
Karena area hidup hewan liar dan ternak begitu dekat, surveilans triangulasi dilakukan secara rutin untuk mendeteksi dini kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit zoonosis dan PIB. Surveilans triangulasi mencakup analisis interaksi antara hewan ternak, manusia, dan hewan liar. Kemudian, hasil yang diperoleh dari pemeriksaan sampel dan analisis tersebut menjadi dasar pembuatan peta risiko timbulnya penyakit dan pemantauan patogen yang dapat menular antara manusia dan hewan.
Baca Juga: Orang Etruria Kuno Bertakhta Sebagai Raja-raja Romawi Pertama