Lihun pulalah yang menghentikan langkah saya dalam perjalanan kami mendekati pos Bangku Panjang di ketinggian 1.889 meter. Dia menyaksikan sekeluarga siamang sedang berayun di akar-akar liana yang menggantung pada tiang pohon dari jenis meranti yang cukup tinggi. Saya terperanjat, siamang jantan yang saya saksikan itu berukuran paling besar sepanjang saya mengenal jenis ini.
Monyet ini memang terbiasa hidup dalam kelompok atau keluarga. Mereka mencari makan dan membangun tempat peristirahatan bersama. Siamang betina dan anaknya sudah pergi menjauh sementara si jantan masih asik bersantai. Dalam pengintaian saya, keluarga siamang itu mengingatkan saya pada kedua anak saya yang menanti kepulangan ayahnya.
!break!
Kaki saya terperosok dalam lumpur yang cukup dalam karena keasikan membidikkan kamera pada siamang itu. Lihun mengingatkan agar tak mengganggu mereka. Beberapa kelompok pendaki yang lewat terlibat perburuan foto. Kadang kehadiran mereka terasa mengganggu di, tapi persahabatan sesama pendaki lebih saya utamakan ketimbang egoisme mendapatkan foto.
Di tempat yang sama, tiga hari setelah perjumpaan saya dengan siamang, keluarga simpai tampak bercengkrama. Mereka menjauh sesaat sadar akan kehadiran saya. Gerak cepat monyet bewarna kuning kecokelatan ini tak tertandingi. Manuver udara dari pohon ke pohon yang mereka lakukan bahkan sulit terkejar mata. Rindangnya tajuk kadang turut membantu kamuflase jenis ini.
Primata unik ini memiliki jambul di kepalanya. Saya teringat potongan rambut David Beckham, mungkin saja terisnpirasi dari kera jenis ini. Simpai merupakan primata endemik pulau Sumatera. Jenis ini sudah dimasukkan lembaga Internasional untuk konservasi alam (The International Union for Conservation of Nature/ IUCN) ke dalam kategori terancam.
Vegetasi montana yang kami lewati dipenuhi pokok pohon tinggi. Saya dan Lihun kadang harus berhenti dibawahnya untuk sekedar menghela nafas dan meminum sedikit air. Hawa hutan tropis yang dingin memaksa kami untuk tak berhenti berlama-lama. "Supaya tubuh tetap hangat," kata Lihun.
Tapi kadang saya memang berhenti lama. Seeokor tupai mengajak saya bercanda di pemberhentian pondok panorama diketinggian 2.225 mdpl. Saya tahu, tupai ini berkelamin betina dan sepertinya dia sedang menyusui. Anaknya mungkin ditinggal di salah satu lubang yang sudah dia diami cukup lama. Tampaknya dia mengenal baik wilayahnya karena begitu ada gerakan mencurigakan, dia menghilang beberapa saat lalu kemudian muncul lagi.
Para pedaki juga sering bertemu dengan tupai ini. Untungnya tak banyak pendaki usil yang membuat si tupai tak betah. Para pendaki menyediakan makan sisa agar didatangi tupai. Agaknya, kebiasaan ini yang membuat tupai ini betah bermain dengan saya.
!break!Serasah hutan yang sudah becek menambah berat langkah saya ketika harus berhadapan dengan tanjakan yang membutuhkan tenaga lebih. Rinai turun bertepatan dengan suara angin yang menerpa seisi rimba. Kami melepas penat di pemberhentian shelter 1.
Vegetasi belukar gleichenia atau paku-pakuan menghadang saya di ketinggian 2.500 mdpl. Daunnya yang bermiang serta patahan batangnya yang tajam membuat pendaki harus berhati-hati. Walau sedikit bertindihan dengan vegetasi sub-alpin, paku-pakuan adalah tumbuhan kuat yang mampu bertahan di segala kondisi cuaca. Seperti lumut, tumbuhan paku kerap dikatakan sebagai tumbuhan perintis. Beberapa jenis diantaranya merupakan epifit yang menumpang tinggal di pohon-pohon besar, termasuk paku sarang burung.
Para pendaki yang ingin menikmati pendakian ke Gunung Kerinci, kadang dituntut harus sabar. Tak jarang saya mengintai kemunculan satwa cukup lama. Walau mengganggu jadwal yang sudah disusun, tapi hal ini menarik. Bagi saya, mendaki gunung bukan sekedar berjalan di tanjakan, tapi mendaki gunung adalah juga belajar lebih banyak tentang apa yang ada disepanjang jalur pendakian itu.
Saya masih membayangkan komentar anak saya Arung, saat hujan tak juga mereda di shelter 3. "Mengapa ayah mendaki sendiri, Arung mau ikut," ucapnya ketika melepas kepergian saya di pintu rimba. Saya hanya menjanjikan kalau dia akan ikut dalam pendakian berikutnya.
Elfa meredakan ledakan semangat Arung dengan bercerita tentang Suku Anak Dalam yang hidup di dalam hutan. Sebagian besar mereka masih membutuhkan fasilitas pendidikan yang layak. Dia menjanjikan Arung akan ikut bermain dan menggambar dengan mereka karena pendakian yang saya lakukan ini merupakan bagian dari ekspedisi keluarga bertajuk SAD3805G7.
Ekspedisi ini melakukan perjalanan pendakian gunung Kerinci, pendakian Gunung Tujuh dan hidup bersama komunitas Suku Anak Dalam. Kecuali ikut mendaki Gunung Kerinci, Arung terlibat di dua kegiatan berikutnya.
!break!Gelegar magma di perut bumi dari ketinggian shelter 3 membuyarkan bayangan saya atas Elfa dan Arung. Pagi yang saya tunggu teryata masih menyisakan hujan dan badai. Beberapa kelompok pendaki turut tertahan di tempat itu.
Sepupu saya, Hendra Noval, cukup berpengalaman di Gunung Kerinci. Kami mendaki gunung itu 20 tahun yang lalu bersama. Menurutnya, cuaca di gunung memang tak selalu diprediksi dengan tepat. Sebelum pendakian, dia sudah menghubungi kepala resot TNKS dan dinyatakan cuaca baik walau kaldera di puncak gunung sedang 'batuk'.
Di shelter 3, dia meghubungi sentral stasiun radio di Sungai Penuh. Operator di ujung radio membenarkan cuaca diprediksikan buruk dalam dua hari kedepan. Menjelang siang, kami akhirnya memutuskan untuk kembali. Surat perjanjian yang saya buat bersama Danuri di R10 masih terbayang di benak saya. Saya telah melanggarnya.
Sebelum memutuskan untuk kembali, kami berdoa untuk Setiawan dan Yudha agar mereka baik-baik saja. Saya membayangkan 20 tahun silam ketika berdoa ditempat ini untuk Yudha, bahkan masih sempat menyambangi tugunya bersama Hendra. Tugu itu dibuat khusus untuk Yudha, sekaligus juga untuk mengenang para pendaki yang hilang di Gunung Kerinci dan sebagai peringatan agar para pedaki tak dihinggapi sifat pongah, teledor serta egois.