Apa Alasan Sulit Melindungi Bangunan Cagar Budaya di Semarang?

By , Kamis, 6 Agustus 2015 | 08:00 WIB

Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut.

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

"Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.

Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Diduga sengaja dirobohkan, bangunan bersejarah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis, mengalami kerusakan parah. (BBC Indonesia)

!break!

Kisah sukses Sobokartti

Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929.

Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.

Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.

"Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi.