Orang Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno

By , Jumat, 7 Agustus 2015 | 08:30 WIB

“Toean, apa-bila ini menusuk perasa’an toean, saja minta ma’af atas dasar bahoea ini boekoe saja toelis aken kegoena’annja rahajat jang toean tjinta, sementara ditoelisnja poen dengen hati soetji dan penoeh penghormatan.”Im Yang Tjoe menuliskan untaian kata yang ditujukan untuk Ir. Soekarno. Kalimat itu terperikan dalam bukunya berjudul Soekarno Sebagi Manoesia, yang diterbitkan Boekhandel “Ravena” di Solo pada 1933. Karya Im Yang Tjoe itu sekaligus menjadi penanda biografi pertama Bung Karno sebelum Indonesia lahir. Bahkan, buku itu telah mempopulerkan nama Bung Karno jauh sebelum Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterbitkan oleh Bobbs-Merrill pada 1965. Cynthia "Cindy" Adams, kini berusia 85 tahun, dikenal sebagai penulis biografi dan kolumnis asal Manhattan, New York City, Amerika Serikat. Perempuan ini mewawancarai Bung Karno pada awal 1960-an, ketika Indonesia berusia remaja.

Im Yang Tjoe—atau kerap juga ditulis Im Jang Tju—adalah gambaran sosok penulis misterius yang nyaris pupus dari ingatan sejarah manusia Indonesia.

Buku riwayat Soekarno karya Im Yang Tjoe hadir tiga dasawarsa mendahului karya Cindy Adams. Kendatipun demikian, tampaknya karya Im Yang Tjoe kalah sohor ketimbang karya Cindy Adams. Tatkala buku biografi pertama Soekarno itu dicetak kembali pada Januari 2008, pun tampaknya tidak cukup berarti untuk mengerek sosok Im Yang Tjoe.

Barangkali, biografi pertama itu kalah populer lantaran hanya penggalan kisah Soekarno muda yang tengah menapak awal hidupnya, bukan merangkum awal hidup hingga sederet prestasi puncaknya sebagai Presiden Republik Indonesia. Atau, mungkin juga buku biografi pertama Soekarno itu kalah populer lantaran penampilannya yang mungil ibarat sekadar buku saku.

Im Yang Tjoe—atau kerap juga ditulis Im Jang Tju—adalah gambaran sosok penulis misterius yang nyaris pupus dari ingatan sejarah manusia Indonesia.

Boleh jadi, Myra Sidharta merupakan peneliti pertama yang mengungkap sisi misteri lelaki malang yang terlupakan itu. Myra, kini berusia 88 tahun, merupakan ahli sastra Melayu Tionghoa yang pernah menyelisik di balik nama pedengan Im Yang Tjoe.

Jalan Braga di Kota Bandung sekitar 1930-an. Tampaknya Tan Hong Boen berbincang bersama Bung Karno di Bandung. Boen pernah menjadi Pemimpin Redaksi "Soemanget" di kota itu sekitar 1930-1932. (Tropenmuseum)

Myra menulis artikel “Tan Hong Boen, man of many faces” untuk majalah Asian Culture yang terbit di Singapura pada 1993. Myra mengungkapkan bahwa Im Yang Tjoe adalah salah satu dari sekian nama pena milik seorang penulis asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang bernama Tan Hong Boen. Dia merupakan anak dari keluarga Tan Boeng Keng di Slawi. Lahir pada Senin, 27 Februari 1905 dan wafat dalam usia 78 tahun pada Kamis, 15 September 1983.

Selain nama Im Yang Tjoe, ada sederet nama pedengan lain milik Tan Hong Boen: Ki Hadjar Dharmopralojo dan Ki Hadjar Sukowijono. Bahkan, Boen pernah memakai nama genit Madame d'Eden Lovely. Namun demikian, nama “Im Yang Tjoe” tampaknya menjadi nama favoritnya karena Boen memakainya sejak 1925 sampai 1950-an.

Selain nama Im Yang Tjoe, ada sederet nama pedengan lain milik Tan Hong Boen. Bahkan, Boen pernah memakai nama genit Madame d'Eden Lovely.

Boen memang terlahir sebagai seorang penulis. Novelnya yang pertama berjudul “Soepardi dan Soendari” (Berpisa Pada Waktoe Hidoep, Berkoempoel Pada Waktoe Mati), terbit dalam majalah Penghidoepan di Surabaya pada 1925. Inilah pertama kali Boen menggunakan nama samaran "Im Yang Tjoe", ketika itu dia berusia 20 tahun.

Sebagian karyanya yang lain seperti Oh Harta yang terbit pada 1928, Itoe Bidadari dari Rawa Pening dan Koepoe-Koepoe di Dalam Halimoen keduanya pada 1929, Soerat Resia di Tangkoe-ban-praoe pada 1930. Selanjutnya, Ketesan Aer Mata di Padang-lalang pada 1930, Gelap Goelita Lantaran Sajapanja Kampret dari Yomani pada 1931. Kemudian pada 1933, Boen menelorkan dua novel lainnya, Angin Pagoenoengan dan Koemandangnja Soemoer Djalatoenda. Karya-karya itu terbit di berbagai kota di Jawa. Setelah Indonesia merdeka, Boen juga menulis banyak cerita berlatar legenda rakyat, sejarah nusantara, dan tokoh pewayangan.

!break!
Kantor Pos dan Telegraf di Tegal, sekitar 1926. Tan Hong Boen, penulis dan jurnalis kelahiran Slawi, Kabupaten Tegal, pada 1905. Ayahnya bernama Tan Boeng Keng. (Delft University of Technology/colonialarchitecture.eu)
Im Yang Tjoe adalah salah satu dari sekian nama pena milik seorang penulis asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang bernama Tan Hong Boen.

Kematangannya sebagai jurnalis dan editor mungkin bermula di Semarang pada 1929, tatkala Boen mendirikan majalah sastra Boelan Poernama yang terbit setiap hari ke-15 dalam kalender Cina. Di Bandung sekitar 1930-32, Boen menjadi Pemimpin Redaksi Soemanget. Dia juga pernah menjabat sebagai pimpinan Biographical Publishing Centre di Solo, yang menerbitkan salah satu bukunya berjudul Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java pada 1935.

Selama menjadi jurnalis surat kabar Soemanget, tampaknya Boen bertemu dengan Soekarno di Bandung. Barangkali pertemuan dan wawancara itu terjadi selepas Bung Karno menjalani hukumannya di penjara Sukamiskin, sekitar 1932 atau 1933.

Dalam Soekarno Sebagi Manoesia, Boen mengungkapkan sosok Soekarno sebagai manusia biasa. Ketika menulis pun Boen tidak pernah membayangkan Soekarno kelak menjadi presiden pertama Republik ini. Dalam wawancaranya dengan Boen, Soekarno mengakui bahwa ketika kecil dia merupakan sosok yang bebal dan murid yang bodoh karena tidak pernah menghafalkan pelajaran dengan baik. Namun, Soekarno juga menyatakan kepada Boen perihal kearifan terhadap sesama ciptaan Tuhan. Soekarno tidak pernah membinasakan nyamuk, demikian penuturan Boen, karena makhluk itu memang telah diciptakan untuk menghisap darah manusia. 

Untuk pertama kalinya, rekaman perjalanan asmara orang tua Soekarno yang bersemi di Bali dikisahkan dalam buku biografinya. Untuk pertama kalinya pula, Soekarno mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan Tjokroaminoto, mertuanya sendiri. Dan, perbedaan pendapat dengan Tjokroaminoto itulah yang memicu perceriannya dengan Siti Oetari. Kisah Soekarno dalam biografi pertamanya ini berakhir dengan adegan sambutan warga Bandung ketika Soekarno bebas dari penjara Sukamiskin—simbol pembebasan menuju kemerdekaan.

Pada awal 1950-an, Boen yang menekuni pengobatan tradisional meracik multivitamin penambah stamina berlabel “Pil Kita”. Hingga kini warung-warung pinggiran di Jawa masih menjual pil berbungkus warna merah yang kerap ditenggak oleh para pekerja bangunan, penjaga malam, hingga sopir bis itu.

"Bung Karno, Bapak Marhaen Indonesia (1931)" demikian keterangan foto dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama". Tan Hong Boen bertemu sosok Soekarno muda (seperti dalam foto di atas) di Bandung, mungkin sekitar 1932-1933. (Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama Tjetakan Ketiga, 1964.)
Dalam wawancaranya dengan Boen, Soekarno mengakui bahwa ketika kecil dia merupakan sosok yang bebal dan murid yang bodoh karena tidak pernah menghafalkan pelajaran dengan baik.

Tampaknya, Tan Hong Boen memang menjadi sosok yang misterius karena takdirnya sendiri. Mengapa Boen dan penulis semasa kerap menggunakan banyak nama pedengan dalam berbagai karya mereka?“Ini efek dari perdebatan ideologis sebenarnya,” kata Agni Malagina, ahli sinologi dari Fakultas ilmu Budaya di Universitas Indonesia. Semenjak 1901 hingga 1940-an, banyak perdebatan dalam surat-surat kabar Melayu-Tionghoa, sementara pemerintah Hindia Belanda sangat keras terhadap penerbitan pers. Tak segan mereka memberedel media atau memenjarakan para jurnalis. “Opini-opini penulis itu banyak yang muatannya kritik,” ungkapnya. “Yang dikritik macam-macam, terutama kebijakan kolonial.”  Selain krtik terhadap pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa juga melakukan kritik terhadap dirinya sendiri seperti soal budaya dan sikap, demikian hematnya. Mereka saling berperang ide, berperang pendapat, dan berperang ideologi. Sebelum muncul polemik kebudayaan sastrawan Pujangga Baru, menurut Agni, orang-orang Tionghoa telah lebih dahulu memulai polemik kebudayaan. “Zaman itu kritik-kritik itu kenceng banget dan balas-membalas.”

Jika orang kerap memperbincangkan tentang nama Cindy Adams, tidak demikian dengan nama Tan Hong Boen. Sampai hari ini pun nama lelaki itu terus tergerus, sehingga hanya sekelonet orang yang mengenal sosok sejatinya.

Bagaimana sosok Soekarno dimata Tan Hong Boen? Boen sengaja menyisipkan sebuah perumpamaan tentang sosok Soekarno yang kelak bertubi-tubi ditempa rintangan dalam perjuangannya, "Tjoema batoe koemala sadja jang digosok bisa gilang goemilang."

Orang Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno

Biografi pertama Soekarno bukan ditulis selepas merdeka oleh perempuan asal New York City, melainkan ditulis sebelum merdeka oleh lelaki asal Tegal.

“Toean, apa-bila ini menusuk perasa’an toean, saja minta ma’af atas dasar bahoea ini boekoe saja toelis aken kegoena’annja rahajat jang toean tjinta, sementara ditoelisnja poen dengen hati soetji dan penoeh penghormatan.”

 

Im Yang Tjoe menuliskan untaian kata yang ditujukan untuk Ir. Soekarno. Kalimat itu terperikan dalam bukunya berjudul Soekarno Sebagi Manoesia, yang diterbitkan Boekhandel “Ravena” di Solo pada 1933. Buku itu menjadi penanda sebagai biografi pertama Bung Karno sebelum Indonesia lahir.

Bahkan, buku itu telah mempopulerkan nama Bung Karno jauh sebelum Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterbitkan oleh Bobbs-Merrill pada 1965. Cynthia "Cindy" Adams, kini berusia 85 tahun, dikenal sebagai penulis biografi dan kolumnis asal Menhattan, New York City, Amerika Serikat. Perempuan ini mewawancarai Bung Karno pada awal 1960-an, ketika Indonesia berusia remaja.

Buku riwayat Soekarno karya Im Yang Tjoe hadir tiga dasawarsa mendahului karya Cindy Adams. Kendatipun demikian, tampaknya karya Im Yang Tjoe itu jauh kalah sohor ketimbang karya Cindy Adams. Tatkala buku biografi pertama Soekarno itu dicetak kembali pada Januari 2008, pun tampaknya tidak cukup berarti untuk mengangkat mengerek sosok Im Yang Tjoe. Demikianlah takdir Im Yang Tjoe.

Barangkali, biografi pertama itu kalah populer lantaran hanya penggalan kisah Soekarno muda yang tengah menapak awal hidupnya, bukan merangkum awal hidup hingga sederet prestasi puncaknya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Im Yang Tjoe—atau kerap juga ditulis Im Jang Tju—adalah gambaran sosok penulis misterius yang nyaris pupus dari ingatan sejarah manusia Indonesia. Jika orang kerap memperbincangkan tentang nama Cindy Adams, tidak demikian dengan nama Im Yang Tjoe. Sampai hari ini pun nama lelaki itu terus tergerus, sehingga hanya sekelonet orang yang mengenal sosok sejatinya.   

Boleh jadi, Myra Sidharta merupakan peneliti pertama yang mengungkap sisi misteri lelaki malang yang terlupakan itu. Myra, kini berusia 88 tahun, merupakan ahli sastra Melayu Tionghoa yang pernah menyelisik di balik nama pedengan Im Yang Tjoe.

Myra menulis artikel “Tan Hong Boen, man of many faces” untuk majalah Asian Culture yang terbit di Singapura pada 1993. Myra mengungkapkan bahwa Im Yang Tjoe adalah salah satu dari sekian nama pena milik seorang penulis asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang bernama Tan Hong Boen.

Tan Hong Boen merupakan anak dari keluarga Tan Boeng Keng di Slawi. Dia lahir pada Senin, 27 Februari 1905 dan wafat dalam usia 78 tahun pada Kamis, 15 September 1983.

Selain nama Im Yang Tjoe, sederet nama pedengan lain miliknya: Ki Hadjar Dharmopralojo, hingga nama samaran terakhirnya sebagai Ki Hadjar Sukowijono. Bahkan, Boen pernah memakai nama genit Madame d'Eden Lovely. Namun demikian, nama “Im Yang Tjoe” tampaknya menjadi nama favoritnya karena Boen memakainya sejak 1925 sampai 1950-an.

Boen memang terlahir sebagai seorang penulis. Novelnya yang pertama berjudul “Soepardi dan Soendari” terbit dalam majalah Penghidoepan di Surabaya pada 1925, artinya ketika dia berusia 20 tahun.  Menyusul Oh Harta yang terbit pada 1928, Itoe Bidadari dari Rawa Pening dan Koepoe-Koepoe di Dalam Halimoen keduanya pada 1929, Soerat Resia di Tangkoe-ban-praoe pada 1930. Ketesan Aer Mata di Padang-lalang pada 1930, Gelap Goelita Lantaran Sajapanja Kampret dari Yomani pada 1931. Kemudian  pada 1933 Boen menelorkan dua novel Angin Pagoenoengan dan Koemandangnja Soemoer Djalatoenda. Karya-karya itu terbit di berbagai kota di Jawa. Setelah Indonesia merdeka, Boen juga menulis banyak cerita berlatar legenda, sejarah, dan tokoh pewayangan.

Kematangannya sebagai jurnalis dan editor mungkin bermula di Semarang pada 1929, tatkala Boen mendirikan majalah sastra Boelan Poernama yang terbit setiap hari ke-15 dalam kalender Cina. Di Bandung sekitar 1930-32, Boen menjadi Pemimpin Redaksi Soemanget. Dia juga pernah menjabat sebagai pimpinan Biographical Publishing Centre di Solo, yang menerbitkan salah satu bukunya berjudul Orang Tionghoa Jang terkemoeka di Java pada 1935.

Pada 1932, Boen sempat mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung—mungkin berkait dengan pemberitaan dalam surat kabar Soemanget. Kebetulan Bung Karno juga menjalani hukuman di tempat yang sama karena divonis telah melakukan subversif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Barangkali, pertemuan di Sukamiskin itulah yang membuat mereka saling kenal dan berbincang. Selepas dari penjara itu Boen menerbitkan catatan perbincangan mereka yang kelak menjadi biografi pertama Bung Karno.

Pada awal 1950-an, Boen yang menekuni pengobatan tradisional meracik multivitamin penambah stamina berlabel “Pil Kita”. Hingga kini warung-warung pinggiran di Jawa masih menjual pil berbungkus warna merah yang kerap ditenggak oleh para pekerja bangunan, penjaga malam, hingga sopir bis itu.

Tampaknya, Tan Hong Boen memang menjadi sosok yang misterius karena kemisteriusannya sendiri. Mengapa Boen dan penulis semasa kerap menggunakan banyak nama pedengan dalam berbagai karya mereka?

“Ini efek dari perdebatan ideologis sebenarnya,” kata Agni Malagina, ahli sinologi dari Fakultas ilmu Budaya di Universitas Indonesia. Semenjak 1901 hingga 1940-an, banyak perdebatan dalam surat-surat kabar Melayu-Tionghoa, sementara pemerintah Hindia Belanda sangat keras terhadap penerbitan pers. Tak segan mereka memberedel media atau memenjarakan para jurnalis. “Opini-opini penulis itu banyak yang muatannya kritik,” ungkapnya. “Yang dikritik macam-macam, terutama kebijakan kolonial.”  

Selain krtik terhadap pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa juga melakukan kritik terhadap dirinya sendiri seperti soal budaya dan sikap, demikian ungkap Agni.  Mereka saling berperang ide, berperang pendapat, dan berperang ideologi. “Zaman itu kritik-kritik itu kenceng banget dan balas-membalas,” ujarnya.

“Polemik kebudayaan Sultan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan lain-lain itu belakangan munculnya,” ungkap Agni, “Duluan Orang Tionghoa yang berpolemik kebudayaan.”